"Ini tempatnya?".
"Besar ya ternyata". Nabila mendecak kagum, ia menatap gedung tinggi dan luas yang ada di depannya itu, tak bisa ia bayangkan berapa jumlah pasti luas dari tempat produksi ini.
Rony diam memandang bangunan di hadapannya datar, Paul mengangguk kecil lalu menatap dua orang lain yang berada disana, bergantian menatap Rony, Nabila terus berulang dengan beberbagai macam pertanyaan di dalam otaknya.
Merasa di perhatikan Rony menatap tajam Paul, ia merasa polisi muda itu sedikit mencurigakan, apalagi semenjak pemuda itu bersikeras ingin ikut dalam perjalanan ini, meski Nabila dan Rony masih merahasiakan kenapa keduanya pergi kesini.
"Ron, akses masuknya gimana?, ini besar banget lho, pasti ada penjaganya!". Nabila berbalik menatap Rony, matanya berbinar namun rebup mengingat pastiada beberapa penjaga yang akan menghalangi ketiganya.
Melihat itu Rony tersenyum tipis, ia menepuk puncak kepala gadis itu yang tertutup hijab, menatapnya lekat lebih lama, lalu berbalik menatap Paul yang memasang wajah waspada.
Rony tersenyum miring, menatap Paul yang masih menatapnya datar, "Paul alihin penjaga pintu belakang, kita masuk di jalur belakang". ujar Rony santai.
Mendengar itu raut datar Paul begitu marah, emosi ketara dengan jelas, Paul berjalan maju, menarik kerah baju milik Rony dan menggeram marah, "Bego lu!, kalopun kalian bisa masuk, nanti di dalam sana lebih ketat lagi penjagaannya, kalo kalian berdua ketangkep, gue gak bisa pikirin bakal gimana nantiny!".
"Seenggaknya kalo mau buat bahaya, bahayain diri sendiri aja, gak usah bahayain orang lain!". tegas Paul, lelaki itu mundur melepas tarikannya tadi, matanya menatap datar kearah manapun, ia saat ini sedang menetralisirkan perasaan emosinya.
"Sebenernya apa yang lu rencanain Ron?". bengis Paul, lelaki itu masih mempertahankan raut marahnya.
Nabila mendesah resah, bukan begini yang ia inginkan, seharusnya perjalanan ini membuatnya menulis banyak artikel yang menarik untuk di lihat, bukan malah menyulut api untuk Polisi muda dan seseorang teman pertamannya di jakarta.
"Gak usah ribut ya, kita bisa ketahuan lebih dulu sebelum mulai". ucap Nabila resah, matanya menatap sekitar, memastikan keadaan baik baik saja saat ini dan tak ada satupun dari penjaga yang menyadari keberadaan ketiganya.
"Kita bisa mundur Nab, masih banyak artikel lain yang bisa kamu tulis, lebih aman, lebih mudah, dan pastinya gak membahayakan". Paul berujar pelan, lelaki itu menatap Nabila yang kini menatapnya, mengabaikan Rony yang hanya diam menyimak sedari tadi.
"Kenapa Paul?, takut banget nama atasan lu keseret dalam kasus ini?, segininya banget ya kerja di setir orang". Rony tersenyum culas, matanya menatap Paul dengan penuh ejekan, lelaki itu berjalan menghampiri Nabila, merengkuhnya lembut lalu menatap gadis itu penuh tanya, "Kita serahin semua keputusannya sama Nabila, kalo dia masih mau lanjutin kasus ini, gue bakalan tetep bantu dia, lu gak setau itu tentang gue Paul, gue punya banyak kemungkinan dan persiapan, semuannya udah gue perkirakan dengan mateng".
"Tapi kalo Nabila pilih pulang dan gak ngelanjutin kasus ini, oke kita pulang, gue gak mau memaksakan kehendak seperti ucapan lu tadi!". Paul diam, ia melirik sinis Rony yang berbicara panjang lebar padanya, sungguh lelaki bule itu ingin sekali memukuli wajah songong milik Rony.
Nabila menghela nafas, kali ini kedua lelaki itu menatapnya lekat, seolah memastikan keputusan mutlak berada dalam pilihannya, "Tanggung kalo balik lagi, semua pekerjaan punya resiko Paul, jadi kali ini, biarin gue bertanggung jawab sepenuhnya pada pekerjaan gue, apapun resikonya". ucap Nabila mantap, gadis itu menatap Paul penuh perhatian, berharap polisi muda itu mengerti.