Part 23

3 0 0
                                    

Darren's Apartment, Washington DC, US.

Bangun pagi dengan tidak mendapati siapapun di kamarnya, membuat Patricia yang baru bisa terlelap di waktu dini hari langsung melompat dari atas ranjang.

Di mana Harper?

Pertanyaan itu membuat Patricia segera memeriksa kamar yang ia tempati bersama Harper. Namun, ia tidak menemukan sosok gadis manis yang ia cari, membuatnya dengan tergesah langsung menuju ke pintu keluar.

Keluar dari kamar, Patricia menyesali keputusannya.

"Mencari Harper?" tanya Alicia yang baru selesai menginjakkan kaki di tangga paling atas.

Patricia mengangguk singkat, sambil melirik pakaian apa yang sedang melekat di tubuh Alicia. Kemudian beralih ke pakaian yang sedang ia kenakan.

"Bersama Darren," kata Alicia menjawab pertanyaan yang tidak sempat Patricia muntahkan. Ia menghentikan langkah untuk kembali berucap, "Lebih baik kau bersiap-siap. Karena setelah ini kita akan langsung kembali ke rumah sakit."

Memutar tubuhnya untuk menuju ke pintu kamar yang berada di dekat kamar Patricia malam ini, Alicia kembali bersuara. "Drama akan segera dimulai, karena Grandma sudah sadar."

Setelahnya Alicia meraih handle pintu dan menutup pintu. Meninggalkan Patricia yang masih termenung memikirkan pakaian yang sedang ia kenakan.

Entah kenapa otak Patricia jadi terus memikirkan pakaian Alicia yang sedang ia pinjam untuk dikenakan, karena barang-barangnya berada di rumah sakit. Sedangkan orang yang meminjamkan pakaian kepadanya, pagi ini sedang mengenakan sebuah kaos kebesaran yang pasti bukan miliknya, karena kaos berwarna putih itu hanya menggantung untuk menutupi tubuh tanpa dalam dan bokong indah Alicia.

Bahkan Patricia mampu untuk melihat panties Alicia yang berwarna hitam penuh bordiran dari bahan jala ikan.

"Jangan katakan jika kau sedang cemburu, Patty? Jika benar, kau adalah manusia paling tidak tahu diri." Patricia bergumam untuk menghardik dan mengingatkan dirinya sendiri.

***

MedStar Washington Hospital, Washington DC, US.

"Pergilah duluan bersama Harper, Ali." Darren yang baru saja selesai memarkirkan mobil, langsung meminta Alicia yang baru selesai memoleskan pewarna pink di bibir penuhnya.

"Apa?" Alicia menoleh, menatap Darren dengan pandangan penuh protes tersirat.

"Kami perlu bicara," kata Darren mengabaikan Alicia yang baru akan membuka mulut. "Kami harus bicara, Ali." Tekan Darren dengan nada datar. Kemudian, pria itu menoleh ke belakang, menatap Harper yang menahan cemberutnya. "Ada sesuatu yang harus kami bahas, Harper. Tidak apa, kan?"

Harper menoleh pada Patricia, meminta pertolongan. Namun, Patricia jelas tahu apa yang harus ia lakukan. "Tolong ya, Sayang."

Alih-alih mengeluarkan protesnya, Harper hanya mengangguk pasrah. Kemudian langsung membuka pintu, ketika pintu penumpang depan sudah ditutup kuat dengan penuh amarah tersimpan.

Patricia hanya bisa meringis dalam hati ketika menyadari ketidak sukaan Alicia dengan permintaan Darren, dan keengganannya yang harus bersama Harper.

Setelah memperhatikan sejenak langkah Alicia yang memimpin jalan Harper tanpa ingin repot-repot menggandeng keponakannya, Darren mencoba memperjelas. "Harper aman bersama Aunty-nya," kata Darren yang langsung menarik perhatian Patricia.

"Aku tahu." Patricia melirik kaca tengah. "Aku tidak meragukan itu." Well … Patricia sedikit tidak yakin dengan ucapannya sendiri.

"Seharusnya kau tidak datang ke DC," kata Darren dengan nada datar. "Kenapa kau malah sengaja menantang peringatanku?"

Tanpa perlu ancang-ancang dan pemanasan, Darren mulai menyudutkan Patricia.

"Aku juga tidak tahu jika akan begini. Demi Tuhan, apa sekarang aku harus kembali saja ke Brooklyn, Mr. Fridman?" balas Patricia dengan jengah.

"Kau tahu jika sekarang sudah terlambat dan kau baru bertanya tentang itu?" Sebelah sudut bibir Darren terangkat penuh ejekan. "Kenapa, Patricia? Kenapa kau kembali? Apa rencanamu kembali untuk menempel di sekitarku?"

Holy crab! Apa katanya? Kembali untuk menempel di sekitar pria itu?

"Otakmu pasti bermasalah karena berpikir aku datang ke sini untuk menempel di sekitar Anda, Mr. Fridman." Patricia mendengus menahan kesal. "Salahkan Charles yang menghubungiku dan memintaku untuk datang ke sini."

Masih terus menatap kaca tengah, sebelah alis Darren menukik. Ia seperti menikmati perdebatan sambil ikut menikmati raut wajah menahan amarah Patricia.

"Benarkan begitu?" Jelas sekali Darren sedang memancing di gunung api yang sudah siap untuk menyemburkan larva. "Jadi sekarang Charles yang akan menjadi kambing hitammu?"

"Enough, Darren!" Patricia sudah siap meledak. "Aku tidak peduli dengan apa yang kau pikirkan, dan aku juga tidak peduli untuk menjelaskan apapun kepadamu."

Kedua bola mata amber Patricia menggelap, dan mulai menggenang air mata karena menahan amarah. "Sekali lagi aku katakan, aku tidak peduli! Terserah otak picikmu ingin berpikir apa tentangku. Tapi demi Tuhan, aku tidak pernah tertarik untuk menempel di sekitarmu. Karena suka tidak suka, nyatanya Mrs. Miller adalah nenekku."

Setelah meledakkan kekesalannya, Patricia langsung membuka pintu mobil dan melangkah lebar menuju ke arah lift lantai basement. Ia sangat kesal, sangat kesal dan sangat benci dengan situasinya sekarang. Dan pikiran yang terlintas di tengah-tengah rasa kesalnya, membuat Patricia memutuskan akan memberitahukan semua tentang kenyataan pernikahannya dan cucu menantu tersayang Kamala itu.

"Lupakan apapun yang sedang kau pikirkan."

Langkah Patricia goyah, tubuhnya menegang. Padahal, darah di bawah sekujur kulit Patricia sedang berdesir hebat. Ia mendongak untuk menatap wajah yang pasti tepat berada di posisinya. Posisi di mana pria itu sudah menyusul langkahnya dengan tangan yang secara mengejutkan langsung merangkul rapat pinggang Patricia. Terlebih, ketika pria itu bisa dengan jelas membaca pikiran Patricia.

"Apa-apaan, Darren!" Patricia meronta. "F*ck off!" hardik Patricia yang hanya sia-sia. Karena Darren langsung mengucapkan kata-kata yang membuatnya bungkam dengan penuh umpatan untuk takdirnya sekarang.

"Sekarang kau istriku. Remember, Patty?"

"I don't give a f*ck! Aku akan membongkar semuanya pada Mrs. Miller. Jadi tolong singkirkan tanganmu."

Patricia terbelalak ketika ia malah mendapatkan yang sebaliknya dari keinginan untuk menjauh sejauh mungkin dari Darren. Karena pria sialan itu malah semakin mengeratkan rangkulan tangannya, hingga menjadi pelukan possesive.

"Jadi kau ingin terjadi sesuatu pada nenekmu, Patty?" Darren setengah berdesis di atas telinga Patricia yang semakin meronta.

"Butt out!" Patricia menatap Darren dengan tajam. "None of your business, Darren!" Patricia semakin meronta, menunjukkan jelas jika ia merasa tidak suka dengan sentuhan mereka.

"Tentu saja ini menjadi urusanku, Patty," kata Darren dengan tenang, sangat tenang hingga membuat Patricia harus merasa waspada.

"Karena jika sampai terjadi sesuatu dengan Mrs. Miller, aku akan senang hati datang untuk bergabung bersama paman dan bibimu." Darren menjeda ucapannya untuk menarik tengkuk Patricia, sehingga ia bisa menatap dan mengirimkan langsung tatapannya ke kedua mata indah wanita itu.

"Untuk menghancurkan apapun yang kau miliki. Baik ini," tunjuk Darren ke leher Patricia. "Ini." Darren menunjuk pelipis Patricia. Kemudian, jari telunjuk Darren turun dari pelipis, untuk menekan ringan ke bagian yang paling ingin ia ancam. "Terlebih ini."

Lutut Patricia seketika lemas, ketika Darren menekan sebelah dadanya dengan satu jari. Ia bergetar hebat karena rasa takut, tertekan, dan marah.

"Jadi jangan mencobaiku, Patty. Atau semua orang yang ada di hidupmu, ingatanmu, terlebih di hatimu akan ku buat menderita."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Between Love And LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang