Part 15

1 0 0
                                    

"Kenapa kau muncul kembali di sekitarku? Kenapa kau menampakkan dirimu lagi, Patricia!!"

Patricia bisa di katakan menikah di usia yang masih cukup muda. Dulu saat usianya baru menginjak dua puluh tahun, ia bahkan sudah pernah melahirkan.

Patricia bertemu Darren saat usianya baru menginjak dewasa. Patricia masih sangat mengingat bagaimana Darren dulu yang selalu mengejarnya, hingga akhirnya Patricia pun luluh dan mereka menjalin hubungan hingga menikah.

Selama bersama, Darren tidak pernah sekalipun membentaknya dengan penuh amarah seperti sekarang. Bahkan di saat malam terakhir pertengkaran mereka yang masih berstatus suami istri, Darren tidak sedikit pun membalas ucapan dan tindakan tidak berperasaannya.

Akan tetapi semua sudah tidak sama lagi, dan ini semua sangat menyakiti Patricia. Bahkan rasa amarah dan benci yang sangat jelas Darren tunjukkan kepadanya terasa lebih menyiksa. Seolah seperti ingin membunuh Patricia secara perlahan, sekalipun jika Patricia bandingkan dengan perasaannya ketika melihat Darren menyetubuhi wanita lain.

Menarik nafas dalam, Patricia menjawab, "Sudah aku katakan jika ak—"

"Don't try me, Patricia! Jangan memancing batasku!" hardik Darren penuh penekanan dengan raut wajah penuh kemurkaan.

Patricia langsung bungkam dengan kedua tangan semakin mengepal kuat, dan dada yang terasa seperti di injak-injak.

"Kenapa kau tidak bisa menjauh dan menghilang untuk selamanya?" lirih Darren tiba-tiba. Iris mata berwarna hijaunya mengkilap, ia menatap mantan istrinya dengan tatapan yang membuat dada Patricia seperti di hujami tombak.

"Kenapa kau terus mengganggu hidupku?" lirih Darren lagi.

Hati Patricia hanyalah perasaan yang juga memiliki batas. Ia juga seorang manusia yang penuh luka, dan bodohnya ia tidak pernah bersyukur dan terlalu egois hingga akhirnya berakhir dengan kehilangan Darren, mantan suaminya, dan satu-satunya pria yang sangat ia cintai. Bahkan hingga detik ini, hanya Darren pria yang sangat ia cintai.

"Aku sudah pernah mencoba melakukannya," jawab Patricia dengan putus asa, bersamaan dengan buliran-buliran kristan bening yang meluncur secara tidak tahu malu di depan arah pandang Darren.

Bibir Patricia mulai bergetar, ia menatap Darren dengan penuh permintaan maaf dan luka. "Tapi aku gagal. Aku gagal untuk melakukan keinginanmu ini," ungkap Patricia. Membuat raut wajah Darren langsung berubah tegang.

"Dan a-aku terlalu pengecut untuk mengulanginya lagi." Suara Patricia mulai tersendat.

"A-aku juga lelah, Darren. Aku sangat lelah dengan semua ini. Aku lelah sekali." Tangis Patricia pecah, ia mulai terisak tidak tahu malu di depan pria yang masih setia menghimpitnya dengan wajah menegang.

"Aku juga tidak mengerti kenapa harus seperti ini. Aku tidak tahu, kenapa aku harus masih hidup jika hanya di takdirkan untuk selalu menjadi pengganggu." Patricia terisak kuat dengan wajah menunduk penuh air mata. Ia benar-benar sampai pada batasnya.

Selama ini Patricia sudah cukup hancur dengan rasa penyesalannya sendiri, dan ia menjadi tidak tahu harus bagaimana ketika langsung di hakimi seperti sekarang.

"Aku minta maaf, aku minta maaf, Darren. Aku memohon ampun atas semua luka yang dulu pernah aku lakukan kepadamu. Tapi aku bersumpah demi nama ibu dan ayahku, tidak sakali pun aku ingin mengganggu kehidupan bahagiamu. Tidak sedikit pun aku pernah berpikir untuk kembali muncul hingga membuatmu merasa terganggu."

"Shut up," desis Darren dengan tajam.

"Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku harus apa agar kau percaya jika aku tidak ingin mengganggu kebahagiaanmu." Patricia mulai meracau. "Aku minta maaf. Aku mohon ampun, tapi aku tidak tahu harus bagaimana, Darren."

Wajah tegang Darren mengendur, ia membuat jarak di antara mereka hingga akhirnya, tubuh Patricia luruh begitu saja ke atas lantai, tepat di depan arah pandang Darren.

"Aku lelah sekali. Aku minta maaf. Tapi aku benar-benar tidak ingin mengganggu kebahagiaan siapapun. Sekalipun aku tidak pernah––" Patricia semakin terisak hingga ia tidak bisa lagi meneruskan ucapannya.

"Patty," panggil Darren. "Diamlah," pintanya dengan lirih.

Patricia mendongak, menatap sosok Darren yang menjulang tinggi di depannya. "Bagaimana kalau kau saja yang melenyapkan aku?" tiba-tiba Patricia menghentikan tangisnya, ia menatap Darren dengan sisa-sisa air dan kilapan secerca harapan.

Satu tawaran yang Patricia ucapkan dengan cara penuh seluruh rasa putus asa itu, secara bersamaan menghujami kan luka dan juga membangkitkan amarah di dalam dada Darren.

"Jujur saja aku sebenarnya terlalu pengecut dan lelah untuk terus ada. Jadi, bukankah ini adalah keputusan yang tepat, Darren?" ucap Patricia dengan enteng. Ia tidak tahu jika kedua tangan Darren sudah mengepal kuat. Ia juga tidak tahu jika Darren bisa melihat dengan jelas jika, Patricia menyunggingkan senyum senang saat mengatakan ucapan gilanya.

Wanita gila!

"Get up, Patty," desak Darren dengan suara tercekat menahan segala emosi campur aduknya.

"Bagaimana, Darren? Kau setuju, kan?" Namun, Patricia benar-benar seperti sudah gila dengan terus menawarkan tawaran yang berhasil membuat dada Darren terasa seperti terbakar dan berdarah secara bersamaan.

"Jika kita––"

"Shut up f*cked up! And get f*ucking up, Patricia!!" bentak Darren dengan dada naik turun. Membuat Patricia langsung tersentak terkejut, dan beringsut mundur menekan punggung ke pintu.

Menarik dan membuang nafas panjang berulang kali, Darren menatap Patricia yang sudah balas menatapnya dengan datar tanpa ekspresi. Dahi Darren mengernyit.

Mantan istrinya itu benar-benar aneh, pikirnya. Namun yang paling aneh adalah dirinya sendiri. Karena  tiba-tiba saja Darren sangat ingin mendekap tubuh kecil Patricia yang sudah tersudut tidak berdaya di atas lantai.

"Bangunlah, Patty," pinta dan perintah Darren secara bersamaan. "Kau bisa keluar sekarang," kata Darren sambil membuang wajah, ia tidak ingin lagi menatap wajah dan tatap Patricia yang semakin aneh dan terlalu cepat berubah-ubah.

Patricia menatap Darren dengan bingung, padahal Darren sudah jauh lebih bingung lagi setelah melihat perubahan Patricia seperti sekarang.

Membalik tubuhnya, Darren kembali berucap. "Get up and get f*ucking out, Patricia!" perintahnya dengan tegas.

Mengangguk singkat, Patricia mencoba bangkit berdiri, kemudian merapikan roknya, lalu segera mengambil troli makan yang ia bawa.

Darren yang masih memunggungi Patricia sambil berkacak pinggang mendengus kasar, lantas kembali berbalik hanya untuk menuntaskan pengusirannya.

Merogoh sakunya, Darren menempelkan kartu kunci kamar, dan tidak tanggung-tanggung langsung membukakan pintu untuk mantan istrinya.

"Selamat menikmati makannya, Sir. Semoga hari Anda menyenangkan, dan selamat siang," ujar Patricia dengan sopan, tidak lupa dengan gestur lebih sopan lagi. Kemudian ia mulai mendorong troli hingga akhirnya keluar dari kamar, dan langsung di hadiahi dengan dentuman suara pintu di belakangnya.

Merapikan kembali seragamnya, Patricia mengusapi kedua pipinya yang basah dengan raut wajah datar. Lalu bibirnya tersenyum separuh.

Jangan lupakan, jika tidak hanya Darren yang sangat mengenal Patricia. Karena Patricia pun, juga sangat mengenal Darren.

Between Love And LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang