Part 10

2 0 0
                                    

Meski warna wajahnya yang sudah berubah pucat pasi tidak bisa disembunyikan, Patricia tetap berusaha membuat raut wajah datar. Dari pantulan di cermin, ia melirik ke samping, pada wajah Darren yang sudah mensejajarkan wajah mereka dengan sangat dekat.

"Aku hanya memenuhi undangan," jawab Patricia datar, seolah keadaannya sekarang sedang baik-baik saja.

"Undangan?" ulang Darren. Pria yang sedang mengulas senyum separuh itu, tiba-tiba meletakkan begitu saja jari telunjuknya ke sebelah tangan Patricia yang sedang mengepal di atas meja wastafel.

Patricia terkejut, langsung melepaskan kepalan tangannya. Dari dulu, Darren memang sangat mudah membaca gerak gerik termasuk kebohongan mantan istrinya itu.

Tidak ingin terus berada di keadaan posisi terpojok, Patricia meronta, berusaha membuat jarak antara punggungnya dan dada Darren. Namun percuma, karena Darren malah kembali menghimpit punggungnya, hingga perut Patricia terbentur kuat.

"Mr. Fridman!" hardik Patricia penuh peringatan. Membuatnya semakin dihimpit dan terhimpit ke pinggiran meja wastafel. Patricia mulai panik. "Back off, Darren!!" teriaknya, yang disambut dengan suara kekehan tanpa rasa humor Darren.

"Jangan menghardikku, Patty," desis bibir Darren tepat ke sebelah telinga Patricia. "Jangan pernah meneriakiku lagi, atau kau akan menyesal," ancamnya terdengar serius.

Patricia tahu jika Darren sekarang sedang tidak main-main, ia sangat mengenal pria itu. Karena itu untuk kali ini, ia akan mengalah saja. "Baiklah," katanya menurunkan nada suara. "Apa yang kau inginkan, Darren?" Suara Patricia terdengar pasrah dan lelah. Namun Darren tetap tidak mengendurkan himpitannya.

"Kenapa kau ke sini? Untuk apa kau datang, Patty?" Ada kilatan serius terselip tatapan bergetar di iris berwarna hijau Darren. Ia terus menatap wajah Patricia dari pantulan cermin.

Patricia membalas tatapan iris sehijau daun di depannya dengan lekat. "Aku mendapatkan undangan."

"Dan?"

Patricia mengernyit. "Dan aku datang,"

"Patty ...." geram Darren. Sebelah tangannya terangkat, membelai seringan bulu sebelah lengan mantan istrinya tanpa mempedulikan ketidaknyamanan Patricia. "Dan untuk apa kau datang?" Darren kembali mengulangi pertanyaan yang menurutnya belum Patricia jawab.

Mengernyit bingung karena Darren terus mengulangi pertanyaan yang sudah ia jawab, Patricia kembali mengulangi jawabnya. "Aku mendapatkan undangan."

Patricia langsung tersentak, karena tiba-tiba pinggangnya dicengkam dengan sangat kuat. "Don't play with me, Patty. Answer my question!" hardik Darren geram. Wajah datarnya sudah penuh dengan guratan rasa kesal.

Tiba-tiba bibir Patricia terkekeh, membuat Darren langsung menatap pantulan wajah mantan istrinya dengan raut wajah penuh selidik. "Apalagi yang harus aku jawab, Darren. Aku mendapatkan undangan, lalu aku datang sebagai bentuk kesopanan kepada keluargaku," jelas Patricia setelah menghentikan kekehan anehnya.

"Keluargamu, heh?" cibir Darren. "Sejak kapan mereka menjadi keluargamu, Patty?" sindirnya. "Apa sekarang kau sedang berusaha mengemis agar dianggap? Atau jangan-jangan kau memang sudah merencanakan ini semua?"

Patricia bingung. Ia tidak mengerti dengan apa yang sedang dibicarakan Darren sekarang. "Apa maksudmu?"

"Cih!" decih Darren, ia menatap Patricia dengan dingin. Kedua tangannya semakin mencengkam pinggang mantan istrinya itu, tanpa peduli jika Patricia sudah meringis sakit. "Malam itu. Jangan katakan jika kau melupakan apa yang kau katakan kepadaku di malam pertengkaran kita. Kau—" Darren sengaja menjeda hanya untuk menyunggingkan senyum merendahkan. "Meneriakiku, dengan meminta agar aku kembali saja pada mantan kekasihku. Apa ini rencanamu, Patty? Plot apa yang sedang kau mainkan sekarang? Apakah kedatanganmu sekarang untuk menilai hasil rencanamu setelah berhasil menggunakanku?"

Demi nama kedua orang tuanya yang sudah tiada, Patricia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sedang Darren katakan sekarang.

Keterdiaman Patricia membuat Darren melanjutkan, "Jangan pernah muncul, Patty. Aku benar-benar terganggu dengan kehadiranmu," desisnya. "Aku benar-benar muak hanya untuk sekedar mendengar namamu lagi. Jangan pernah ada lagi di sekitar hidupku."

Seharusnya sekarang, hati Patricia merasa sakit dan mungkin terluka. Namun, alih-alih menunjukkan raut wajah berdarah, bibirnya malah menyunggingkan senyum hangat. Ia menatap Darren dengan tatapan nanar. "Aku tahu," katanya. "Maafkan aku, Darren. Aku tidak tahu jika kita akan bertemu. Harusnya aku memang tidak perlu datang."

Membuat jarak dari punggung Patricia, Darren mendengus kasar. Seolah tatapan, cara berbicara, nada suara dan raut wajah Patricia sekarang tidak pernah berarti untuknya.

Pria itu menyelipkan kedua tangan ke dalam saku celana. "Ya, kau memang seharusnya tidak perlu mencoba mengemis kepada keluargamu, karena kau tidak akan pernah berarti untuk mereka. Putri dari seorang anak haram sepertimu jangan pernah coba-coba untuk merusak nama baik keluarga tunanganku. Jangan rusak hari-hari bahagia kami, Patty."

Darren mencecarnya tanpa ampun, membuat Patricia semakin tidak mengerti dengan mantan suaminya itu. Ia tidak paham, kenapa Darren harus melontarkan kata-kata seperti itu. Tanpa perlu menghina dan menyakitinya seperti sekarang pun, Patricia akan menjauh sejauh-jauhnya karena selama tiga tahun inilah yang sudah ia lakukan.

Patricia tidak masalah, ia akan menerima jika Darren melukai dan menghinannya dengan kejam, karena dulu Patricia jauh lebih parah menyakiti Darren. Namun, tidak untuk membawa ibunya. Ibunya memang seorang anak haram dan terbuang, maka dari itu jika Darren memiliki hati nurani, seharusnya pria itu tidak menghina ibunya dengan menggunakan status nasib ibunya.

"Aku tahu jika aku bersalah dan membuatmu terluka, Darren. Tapi ibuku tidak pernah menyakitimu. Tolong jangan seret mendiang ibuku ke dalam rasa bencimu untukku."

"Benci?" ulang Darren. Pria itu kembali menarik separuh sudut bibirnya ke atas. Ia menyeringai penuh hinaan. "Memiliki rasa benci dariku adalah kemewahan untukmu, Patty. Karena aku bahkan tidak peduli lagi dengan masa lalu sialan itu, terlebih untuk bagian aku pernah menikahi wanita sakit mental sepertimu." Darren berkata tanpa berperasaan.

Sekujur tubuh Patricia terasa gamang. Perkataan yang Darren lontarkan semakin lama semakin tajam tanpa perasaan. Namun, Patricia bisa menerima semua ini, meski hanya Tuhan yang tahu bagaimana perasaan Patricia sekarang.

Bibir Patricia menyunggingkan senyum pahit "Kau benar, Darren. Untung saja akhirnya kau bisa terlepas dari wanita yang mentalnya terganggu sepertiku," ucapnya menahan sesak. "Dan aku doakan semoga Alicia bisa membahagiakanmu, hingga suatu hari kau bisa memaafkanku."

Setelah itu, Patricia memutar tubuh. Ia mulai melangkah menuju pintu keluar toilet untuk meninggalkan Darren yang hanya terdiam. "Aku berjanji setelah ini tidak akan pernah lagi menampakkan wajah di depanmu," tutup Patricia, bersamaan dengan suara handel pintu yang ia putar.

Menutup kembali pintu toilet dengan tangan gemetar, Patricia membusungkan dada sambil menarik nafas dalam. Ia mengangkat dagu, mulai meninggalkan lorong toilet dengan langkah tegar dan tetap kokoh, meski dari dalam ia sudah rusak parah.

Setelah yakin jika langkah Patricia sudah menjauh dari koridor toilet, seorang pria yang bersembunyi dibalik dinding pembatas menyeringai. "Darren oh Darren ... mencoba menjauhkan masalahmu, heh?" gumam pria itu sambil memutar-mutar gelas wine yang ia genggam. "Kalau begitu, akan aku dekatkan lagi," sambungnya untuk diri sendiri.

Merogoh saku, pria itu mengambil ponsel untuk menghubungi seseorang.

"Hallo, Sir." Panggilannya langsung dijawab.

"Atur kembali status pembangunan di Brooklyn untuk rencana tahun depan, aku ingin mengerjakannya sekarang. Dan juga segera atur kepindahan sekolah putriku ke Brooklyn." Setelah itu, ia langsung mematikan sambungan panggilan sambil terkekeh.

"Let's play, Darren." Pria itu kembali bergumam, bersamaan dengan suara terbuka pintu toilet yang selalu ia tatap. Darren akhirnya keluar dari sana, membuat pria itu tersenyum geli.

"Aku tidak sabar. Ini akan seru sekali." Pria itu tekekeh sendiri, kemudian menyesap isi gelasnya sambil terus mengamati langkah Darren dan raut wajah seperti apa yang sedang Darren pasang ketika ia selesai menemui diam-diam mantan istrinya.

Between Love And LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang