Part 7

3 0 0
                                    

"Aku jadi menumpahkan limunku, gaunku jadi kotor," keluh gadis kecil itu.

Patricia yang termenung langsung kembali tersadar, cepat-cepat bergerak untuk memeriksa gaun dan tubuh gadis kecil di depannya. Patricia mulai ketakutan, karena bisa saja yang ia tabrak adalah putri kecil dari keluarga tamu ternama.

"Maaf, maafkan aku. Apa kau terluka?" Patricia bertanya sambil mulai mengusapi bagian depan gaun si gadis kecil yang tampak basah. "Ini memang salahku. Aku yang berjalan tidak benar." Patricia mengakui dengan jujur, dengan suara mulai gemetar.

Oh, tidak. Semoga serangan paniknya tidak kambuh sekarang.

Gadis kecil itu menggeleng singkat, ia menatap Patricia dengan lekat, membuat Patricia jadi balas menatap. "Aku tidak terluka, Miss. Jangan panik," ujarnya dengan terselip nada rasa geli. Gadis kecil itu seolah mengerti jika wanita yang wajahnya sudah berubah pias sekarang sedang dalam keadaan panik.

Gadis kecil itu tersenyum, ia menyentuh sebelah tangan Patricia yang terus mengusapi gaun depannya. "Sudah, Miss. Tidak apa. Aku juga salah karena tadi berjalan tidak melihat jalan dan malah terus melihat ke arah Adele," ungkapnya sambil menunjuk ke arah panggung. Di mana Adele sedang mengisi acara dengan menyanyikan one and only.

Patricia menuruti, ia menghentikan pergerakan tangannya yang terus tergoda untuk menyentuh gadis kecil di depannya. Kemudian menyunggingkan senyum kaku. "Sekali lagi maafkan aku. Aku juga sebenarnya sama sepertimu. Aku juga berjalan sambil terus menatap ke arah Adele, idolaku," jelas Patricia setengah berdusta.

Seperti yang Patricia harapkan jika gadis kecil di depannya langsung kembali tersenyum. Kali ini lebih lebar dan terlihat bersemangat, hingga kedua irisnya yang berwarna amber berbinar-binar. "Anda juga mengidolakan Adele?" tanyanya penuh minat.

Mengangguk, Patricia mulai membantu gadis kecil itu untuk berdiri. Namun, yang terjadi malah gadis kecil itu yang membantunya. Karena baru Patricia sadari, jika pergelangan kakinya mulai terasa sakit. Mungkin karena saat akan terjatuh tadi Patricia menahan kakinya agar tidak tertekuk, dan malah menyebabkan heels murahannya tergeser dari kaki.

"Anda tidak apa, Miss?" tanya gadis itu dengan sedikit khawatir. Ia terus menatapi cara berdiri Patricia yang sedikit goyah.

Mengangguk tegas, Patricia tersenyum. "Kita memiliki warna mata yang sama," katanya untuk mengalihkan pembicaraan. Karena nyatanya, kaki Patricia memang sedang terasa salah.

"Oiya?" Gadis itu kembali menatap wajah tertunduk Patricia. "Benar, warna mata kita sama. Tapi warna mataku lebih cantik!" serunya sambil terkikik geli.

Perasaan Patricia menghangat, bahkan gejala panicking-nya langsung ikut lenyap, hanya karena mendengar dan menatap tawa gadis kecil di depannya.

"Kau memang cantik sekali," puji Patricia sambil mengulurkan tangannya. "Aku Patricia." Ia memperkenalkan diri.

Langsung menyambut tangan Patricia, gadis itu membalas, "Aku Harper." Mereka berjabat tangan. "Kau juga cantik, Patricia," balasnya terdengar tulus.

Dada Patricia bergemuruh. Perasaannya terasa tenang dan senang. Tangan kecil di dalam genggamannya, benar-benar membuat Patricia tidak ingin melepaskan sentuhan mereka.

Akan tetapi, Patricia tidak bisa. Ia tidak ingin membuat gadis kecil itu jadi merasa tidak nyaman. Dengan sangat terpaksa ia melepaskan jabat tangan mereka.

"Dengan siapa datang ke sini?" Patricia mulai mencoba membuka obrolan. Berharap jika gadis kecil itu tidak sedang terburu-buru, karena ia belum rela jika harus berpisah sekarang.

"Mereka," jawabnya sambil menunjuk ke arah dua orang yang ternyata sedang melangkah ke arah mereka.

Indra penglihatan Patricia langsung melebar, ketika mengikuti arah jari telunjuk kecil Harper. Dengan susah payah ia meneguk ludah sambil menatap dua pasangan yang sedang menuju ke arahnya.

"Grandma dan Grandpa-ku," sambung Harper dengan nada riang sambil melambai ke arah nenek dan kakeknya. Tanpa bisa menyadari, jika Patricia sudah memucat di tempat.

"G-grandma? G-grandpa?" ulang Patricia terbata. "Mereka nenek dan kakekmu?" ulannya lagi dengan tercekat.

Kepala Harper langsung mengangguk kuat dan yakin, sambil terus melambai ke arah dua orang yang sedang mereka bahas. "Iyap! Aku bersama mereka ke sini."

Kedua lutut Patricia seketika langsung lemas. Kepalanya mulai berputar. Tubuhnya mulai berkeringat dingin. Dan kakinya langsung terasa lemah hanya untuk sekedar menopang tubuh sendiri.

Patricia langsung mengulurkan tangan ke samping, mencoba menggapai-gapai untuk mencari pegangan terdekat. Namun ia gagal, karena meja yang sedang sangat ia butuhkan untuk menopang tubuh, ternyata lebih jauh dari yang indra penglihatannya tampilkan.

Patricia pasrah jika ia memang akan terjatuh. Lantas hanya bisa memejamkan kedua mata untuk menerima kenyataan, jika tubuhnya akan mencium lantai yang pasti akan menarik banyak perhatian. Tapi kepasrahannya tidak terjadi, karena sepasang tangan kokoh tiba-tiba menahan kedua bahunya.

"Apa kau baik-baik saja?" Suara maskulin dan aroma maskulin di belakangnya bertanya, dengan kedua tangan yang terus memegangi kedua bahu Patricia.

Bukannya malah merasa tertolong, Patricia yang mendapatkan bantuan malah mulai merasa sial. Ia memberanikan diri untuk menoleh, untuk memastikan. "K-kau ...." lirih Patricia dengan tercekat. Bahkan kedua pelipisnya mulai di penuhi peluh, menunjukkan seberapa gugupnya ia sekarang.

"Dad, Patricia kenapa?" suara Harper kali ini tidak membantu sama sekali untuk menenangkannya. Karena kegugupan dan rasa panik Patricia malah semakin parah, setelah menangkap seringai pria yang masih setia memegangi kedua bahunya.

"Kau datang, Patricia?" Suara lain yang ikut bertanya, benar-benar membuat Patricia menyesali segala keputusannya. Dimulai dari keputusannya untuk datang ke pesta pertunangan Darren dan Alicia, lalu mempertahankan Harper agar sedikit lama bisa bersamanya.

Karena sialnya, Patricia malah bertemu dan harus menghadap seluruh keluarga sepupunya, Alicia. Yang suka tidak suka, terima tidak terima, masih memiliki ikatan keluarga dengannya. Pertemuan yang sangat Patricia hindari.

Akan tetapi dari seluruh rasa kepanikan Patricia, isi kepalanya hanya meruncing untuk memikirkan satu hal.

Harper tadi mengatakan apa? Dad? Untuk Logan? Kenapa Harper memanggil Logan dengan panggilan ayah?

Apa-apaan ini?!

Between Love And LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang