Part 9

2 0 0
                                    

"Benarkah, Aunty?" Harper bertanya sambil menatap bergantian antara Patricia dan dua orang yang sedang berdiri di belakang mereka.

Patricia masih kaku ditempatnya, sekujur tubuhnya membeku. Jantungnya mulai berdegup kencang ketika semakin bisa menyadari jika tidak hanya satu orang yang ada di belakangnya. Terlebih, setelah mendengar suara kursi diseret halus.

"Thank you, Honey," ucap suara perempuan yang tadi meneruskan ucapan tertahan Patricia, disusul dengan suara satu kursi lain yang kembali ditarik halus.

"Apa kabar, Patricia? Sudah lama tidak bertemu, ya?" Perempuan itu kembali bersuara, membuat Patricia harus mencengkam kuat-kuat kedua tangannya di bawah meja.

Menyunggingkan senyum kaku, Patricia menoleh. "Saya baik, Ms. Donovan," katanya dengan menekan rasa gugup. "Ah ... selamat atas pertunangan kalian," sambungnya sambil menatap Alicia, diam-diam melirik ke arah jari manis sebelah kanan wanita itu. Cincin pertunangan Alicia, benar-benar tampak mahal dan berkelas.

"Terima kasih," Alicia membalas riang sambil tersenyum lebar. Ia menatapi Patricia dengan tatapan yang tidak bisa Patricia mengerti.

Mengabaikan tatapan Alicia, Patricia menatap ke samping kiri Alicia. Tempat di mana seorang pria yang sangat ia kenal sudah mengambil posisi duduk sambil menatapnya dengan datar. "Selamat atas pertunangan Anda, Mr. Fridman."

Tanpa menyahuti, arah pandang Darren hanya menatap Patricia setelah mantan istrinya itu sudah mengucapkan kata selamat dengan wajah tanpa ekspresi dan gestur tidak nyaman. Ia terus menerus menatap Patricia dengan tatapan datar, membuat Patricia jadi semakin tidak nyaman.

"Jadi, Patricia masih kerabat kita juga, Aunty?" Harper kembali bertanya, sambil menekuk-nekuk kedalam jarinya sendiri seolah sedang menghitung.

Alicia mengangguk, kemudian mengalihkan pandangan dari Patricia ke arah keponakannya. "Iya, Happy. Patricia, emm ... juga termasuk aunty-mu," jelasnya.

Bibir Harper kembali tersenyum lebar, ia menatap Patricia dengan kedua mata berbinar-binar. "Kenapa Kau tidak memberitahuku jika kita keluarga, Patty?" kata Harper. "Yey! Aku senang sekali," soraknya semangat. Harper benar-benar terlihat senang, dan itu terlihat mengherankan, terlebih untuk pandangan Darren.

Seingat Darren, Harper tidak mudah untuk langsung bisa dekat dengan orang yang baru ditemuinya. Gadis kecil itu juga terbilang sombong  daripada dikatakan ramah. Dan yang paling membuatnya semakin heran, karena karakter Patricia juga sama.

Dua perempuan berbeda generasi itu sama-sama kurang ramah dan tidak mudah untuk didekati. Namun lihatlah apa yang tersaji di depan Darren sekarang, mantan istri dan keponakan tunangannya itu, malah jelas tampak sudah akrab di pertemuan pertama mereka.

"Patty," panggil Harper. Membuat Patricia memfokuskan pandangannya hanya kepada Harper seorang. Gadis kecil itu mengangkat tangan ke depan arah pandangannya sendiri, lalu mulai kembali menekuk-nekuk jari-jarinya ke arah dalam secara bergantian.

"Apakah ibumu adalah Grandma Steffany, Patty?"

Patricia terkejut, ia tertegun. Dari mana bisa Harper mengetahui ibunya? Dan juga, hingga bagian mana Harper dijelaskan tentang ibunya?

Menyadari keterdiaman Patricia, Harper menegur, "Patty?"

Patricia tersadar. "Ahh ... iya, Harper." Lantas melirik ke arah Alicia dan Darren yang hanya menatapnya dengan tatapan berbeda. Jika Darren masih menatapnya dengan datar, maka Patricia bisa melihat sebelah sudut Alicia yang tertarik tipis ke atas.

Mengangguk, Patricia menjawab, "Ibuku memang Steffany, mendiang Steffany Anderson." Lalu ia menurunkan wajah hingga kepalanya jadi sedikit menunduk.

"Sudah aku duga," seru Harper terdengar penuh kemenangan karena tebakan dan perhitungannya benar.

"Kenapa kau bisa menduga jika ibu Patricia adalah ... 'Dia'?" Alicia bertanya dengan nada penuh minat yang dibuat-buat. Ia juga jelas tidak ingin menyebutkan nama terlarang yang sudah menjadi aib, dan pernah sempat membuat buruk citra keluarga Miller.

Patricia kembali mengangkat wajah, ia menatap lurus ke depan sambil mengetatkan rahang. Bahkan hanya untuk menyebut nama ibunya saja sudah menjadi dosa untuk seorang keturunan Miller.

"Karena dulu waktu Charles menghubungi Grandma Donna, dia meminta agar grandma mengusahakan untuk membawa keluarga Grandma Steffany ke mansion Great-grandma Kamala ketika sedang sakit parah waktu itu," jelas Harper dengan serius. Ia terdengar dan terlihat yakin sekali dengan setiap ucapannya.

Penjelasan Harper barusan tanpa bisa ia sadari, langsung mengubah raut wajah ketiga orang dewasa yang sedang mengisi kursi meja bersamanya. Namun, Harper belum selesai. "Juga waktu ketika giliran aku menemui Great-grandma yang dirawat di rumah sakit, Great Kamala memeluk sebuah foto yang jika dibalik, memiliki tulisan—" Harper menjeda, ia tampak berpikir. Kemudian tidak lama ia berseru, "Hah! Aku ingat! Itu sebuah nama. Tulisan yang ada di belakang foto adalah, nama Petra. P. Anderson."

Dengan bibir mengerucut ke depan, Harper mantap bergantian raut wajah terkejut Patricia, raut wajah penasaran Darren, dan raut wajah tegang Alicia. "Dan ketika aku bertanya nama siapa yang ada di balik foto itu kepada great Kamala—" Ada jeda di ucapan Harper, ia memfokuskan tatapannya kepada Patricia. "Katanya, itu adalah nama putri dari mendiang Grandma Steffany."

"Itu nama baptisku," sambar Patricia. "Petra Patricia Anderson, adalah nama lengkapku," jelas Patricia.

"Dan nama kecilmu adalah Patty," timpal Harper sambil terkikik. Gadis kecil itu tidak tahu dan belum bisa mengerti, seberapa anehnya suasana mereka berempat sekarang.

"Aku permisi ke toilet sebentar," ucap Patricia tiba-tiba. Dengan cepat ia langsung bangkit berdiri dari kursi, mengabaikan ekspresi apa yang sekarang sedang ditunjukan dua orang dewasa lain di sana.

Melewati tubuh-tubuh para tamu yang berdir,i dan meja-meja untuk tamu yang berjajar rapi di setiap sudut ballroom, Patricia melesat dengan sangat cepat ke toilet. Ia baru bisa kembali mengingat, jika inilah alasan yang membuatnya tadi bertemu Harper dan membuatnya harus menghadapi mantan keluarga yang paling ingin ia hindari, terlebih ia juga harus kembali bertatap muka dengan mantan suaminya.

Menutup pintu toilet, keadaan toilet sepi, hanya ada Patricia seorang. Wanita bergaun hitam murahan itu langsung menuju ke wastafel dan menatap ke depan cermin di sana, lalu menghembuskan nafas panjang. "Di sini memang bukan tempatmu, Patty," gumam Patricia pada diri sendiri dari pantulan cermin. Ia tersenyum masam. "Seharusnya kau tidak datang ke sini, bodoh."

"Lalu kenapa kau datang ke sini?" timpal suara yang tiba-tiba saja muncul di dalam toilet.

Sangat terkejut, tubuh Patricia bahkan langsung berjengit. Kemudian suara pergerakan sepatu yang disusul suara kunci pintu toilet yang diputar, membuat Patricia menegang. Dengan jantung mulai berdebar kencang, ia menatap langkah seorang pria yang mendekat ke belakang punggungnya.

"Katakan padaku Ms. Anderson, kenapa kau di sini?" Suara maskulin itu sudah berada tepat di belakang Patricia. Pria itu sudah ikut menatap wajah pias Patricia dari pantulan cermin. "Jelaskan kepadaku, untuk apa kau di sini?" cecarnya dengan suara dingin, sambil menempelkan dada ke punggung menegang Patricia.

Sekujur tubuh Patricia kaku, tidak bisa digerakan sedikitpun, bahkan ketika pria di depannya sudah menempelkan dagu ke sebelah bahu kaku Patricia.

"M-Mr. Fridman?" lirih Patricia tercekat, tenggorokannya terasa seperti dipenuhi kerikil.

"Darren. Aku Darren, Patty."

Between Love And LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang