Hampir seluruh mata yang bertemu Raya pagi ini terkejut. Gadis itu biasanya menggunakan rok selutut dan seragam lengan pendek. Kini tak ada lagi rambut panjang indah milik Raya. Tak ada lagi hiasan di kepalanya, kalung dari sang pacar pun tak nampak, gelangnya juga tidak terlihat.
"Raya!" teriak seseorang dari belakang dan berlari kecil mencoba untuk menyejajarkan langkah Raya menuju ke kelas. "Ini Raya yang kukenal? Kerasukan apa kamu, Ra? Hahaha." Anak itu tertawa lepas.
"Kenapa? Memangnya aneh?" tanya Raya sambil berusaha untuk tetap percaya diri seperti biasanya.
Anak tadi mengangguk sambil tetap tertawa, "Hahaha! Udah cocok jadi Ustajah Raya." Raya tidak ingin mendengar komentar lain darinya, dia meninggalkan anak itu tertawa sendirian di koridor.
Raya menyapu pandangannya, mencari keberadaan Dalia. "Assalamualaikum, Dalia!" sapanya bersemangat saat menemukan teman yang dicarinya itu. Tak dapat ditutupi, wajah Dalia senang bukan main.
"Waalaikumussalam, cantik banget! Bidadari juga bisa sekolah, ya?" Dalia tersenyum geli.
"Eh, bisa aja ratunya bidadari yang satu ini," goda Raya tak mau kalah.
Sedetik kemudian murid-murid di kelas itu heboh. Seperti sedang ada keajaiban dunia yang turun di sana. Mereka mendekat ke bangku Dalia. Sebagian terkejut dan sebagian lainnya terpana.
"Ih, gak cocok, Ra! Lebih stylish yang dulu, ih."
"Iya, lagian tiba-tiba banget, gak ada angin gak ada hujan."
"Kayak ibu-ibu."
"Enggak! Menurutku Raya kelihatan lebih anggun dan elegan kayak gini. Lagian dia hijrah karena Allah, bukan karena style atau pandangan kalian." Dalia memberanikan dirinya untuk memberikan kesan positif pada Raya. Dia tak ingin hati Raya goyah karena pendapat orang. Rasa malunya sudah terkubur sementara, saat ini yang dia pikirkan hanya perasaan Raya.
Keadaan hening seketika. Mereka tertegun melihat reaksi Dalia. Biasanya gadis itu acuh tak acuh pada keributan di kelas, sibuk dengan Al-Qur'an sakunya. Namun kini Dalia berani angkat suara.
"Tuh guys, dengerin kata Ustajah Dalia. Maaf ya, Ustajah," ejek Mawar menekan kata ustajah sambil pergi ke bangkunya. Tak ada niat untuk meminta maaf sedikit pun.
Raya geram dengan kelakuan Mawar. Ekspresi marahnya tidak dapat disamarkan, dia masih ingat bagaimana Mawar merendahkan Dalia saat di depan masjid kemarin. Ketika hendak ke meja Mawar, Dalia menahan Raya. "Gapapa, perkataan bisa jadi doa. Semoga aja aku bisa jadi ustazah beneran, hehe," bisiknya pada Raya.
Para murid yang mengerumuni mereka perlahan bubar menuju tempatnya masing-masing. Menyisakan beberapa orang yang memberi ucapan positif untuk Raya. Dalia dapat bernapas lega sekarang, ternyata masih ada yang waras di sini, batinnya senang. Senyum Dalia mengembang lagi.
Tanpa mereka sadari, Farhan menatap pacarnya dari pintu. Tentu saja dia kaget dengan perubahan seragam Raya. Dia ingin menyapanya seperti biasa, tapi karena keributan barusan, dia mengurungkan niatnya. Selain itu, hatinya terasa sesak saat mengetahui Raya tidak mengabari apa pun tentang seragamnya. Padahal biasanya hal terkecil pun dia ceritakan. Apa karena temenan sama Dalia? Pikirnya menyelidik. Tak ingin pusing pagi-pagi, Farhan memutuskan untuk kembali ke kelasnya.
•••
Istirahat kali ini Mawar tidak ikut bersama gerombolan Raya. Remaja itu memilih bergabung dengan kelompok lain, hatinya masih panas-dingin melihat kehadiran Dalia.
"Eh, rasa kuah baksonya kok lebih asin, sih?" komentar Raya saat menyeruput hidangan di depannya. Dalia dan teman-teman lain yang memesan bakso mengangguk setuju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jannahmate
Teen Fiction"Aku ... jujur, aku belum terbiasa. Teman-temanku banyak yang berbuat maksiat. Banyak yang skip salat, pacaran, ngerayain ulang tahun, sentuh-sentuhan yang bukan mahram, banyak, deh. Aku takut, Ba. Takut keikut maksiat kalau berteman dengan mereka...