19: Anak Kecil

39 16 50
                                    

Dalia mengayuh sepedanya dengan kecepatan tinggi. Tak memedulikan teriakan histeris Raya yang mengundang beberapa pasang mata melihat ke arah mereka. Mau tak mau, Raya harus berpegangan kencang pada Dalia agar keseimbangannya tidak goyah. Dia merasa seperti sedang naik roller coaster. Seru, tapi menantang maut.

Sesampainya di rumah, Dalia turun dari sepedanya setelah memastikan Raya turun duluan. Tangannya sibuk memosisikan sepedanya agar berdiri kokoh di depan rumah. Standar sepedanya rusak dan belum diperbaiki. Wajah Raya masih tegang. Dalia tertawa kecil melihatnya.

"Rasanya, tuh, kayak antara hidup dan mati, tahu gak! Untung masih dikasih kesempatan hidup. Dosaku masih banyak, Dal. Aku masih mau bertobat. Lagian kenapa ngebut, sih?" cerocos Raya. Dia memegang dadanya yang berdetak tak karuan. Jantungnya bekerja lebih keras.

"Hehe, maaf maaf. Aku udah gak sabar mau ke tempat seru sama kamu, Ra." Dalia tidak berbohong tentang tempat yang seru itu, tapi alasan utama dia mengayuh sepeda dengan cepat adalah agar terhindar dari lelaki berjubah putih.

"Tapi, kenapa malah pulang?" tanya Raya ketika Dalia sudah selesai mengurus sepedanya. Matanya mengikuti langkah Dalia, mengekori masuk ke dalam rumah.

"Bentar, ya. Ada yang harus dibawa. Aku ke belakang dulu."

Jantungnya sudah kembali normal. Kali ini pikirannya menebak-nebak, tempat serunya di mana, ya? Mall? Dufan? Atau mau ke konser? Eh, Dalia mana mau ke konser. Raya semakin penasaran. Sebelum duduk, dia sempat mencuri-curi pandang ke dalam rumah Dalia. Umma tersenyum melihat Raya mengintip. Gadis itu menunggu Dalia sambil bersenandung riang dan memainkan ponselnya.

Beberapa saat kemudian Dalia kembali ke ruang tamu sambil membawa dua kantong plastik besar berisi kotak roti beberapa tumpuk. Di belakangnya, umma membawa satu kantong lainnya. Raya meletakkan ponselnya ke dalam tas dan segera membantu Dalia.

"Ini yang mau dibawa ke tempat seru, Dal?" tanya Raya keheranan.

"Iyap, kita naik motornya aba. Soalnya susah kalau pakai sepeda," ujar Dalia menjelaskan. Kakinya terus melangkah ke depan rumah, disusul umma dan Raya.

"Makasih, Raya, sudah bersedia menemani Dalia ke panti asuhan. Umma dan Aba gak bisa ikut karena lagi banyak pesanan roti. Umma titip salam aja, ya," kata umma lembut.

"Panti asuhan?" Raya melirik Dalia yang tertawa tanpa suara. "Jadi, tempat serunya itu panti asuhan, ya. Aku kira ke konser," gumamnya.

Setelah ketiga kantong plastik itu sudah berada pada posisinya—yang satu di depan, dua lainnya dipegang Raya di belakang—Dalia segera menyalakan motornya. "Assalamualaikum, Um," ucap Dalia.

"Assalamualaikum, Umma, dadah!" teriak Raya dengan senyum cerianya.

Sejak sering main ke rumah Dalia, Raya jadi ikut-ikutan memanggil orang tua Dalia dengan sebutan umma dan aba. Dalia tidak memusingkan hal remeh itu. Dia pikir Raya memang seperti itu, mudah akrab dengan keluarga orang. Padahal gadis itu tidak pernah bermain ke rumah temannya yang lain. Jika ada kerja kelompok, dia sukarela menawarkan rumahnya untuk digunakan. Saat bosan ke karaoke, kafe, atau mall, teman-temannya selalu ingin datang ke rumah Raya.

"Dalia, kita mampir ke Indoapril dulu, yuk! Tadi aku, kan, sudah janji mau traktir es krim cokelat," ucap Raya sambil sedikit berteriak agar Dalia dengar.

"Gak usah, deh, Ra. Sudah aku ikhlasin," balas Dalia dengan kepala sedikit ditolehkan ke belakang.

"Ih, gak mau! Aku mau nepatin janjiku. Ayo mampir, Dal," rengek Raya sambil menggoyang pelan lengan kiri Dalia.

Dalia mengalah. Beberapa meter kemudian motornya dibelokkan ke Indoapril. "Kamu aja yang masuk, aku jagain ini," ucapnya sembari hendak mengambil kedua kantong plastik di tangan Raya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JannahmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang