Hari itu, langit di SMA Akademi Pulau Rintis tampak cerah, secerah senyum para siswa yang sedang asyik mengobrol di halaman sekolah. Di tengah-tengah keramaian, Boboiboy berjalan santai menuju kelasnya dengan wajah ramah seperti biasa. Meski dikenal sebagai pahlawan galaksi dengan kuasa elemen yang luar biasa, dia tetap rendah hati dan selalu menyapa siapa pun yang ditemuinya.
Namun, ada satu sosok yang selalu membuat hatinya sedikit berdebar setiap kali bertemu—Yaya. Gadis muslimah berkerudung merah muda itu terkenal sebagai cewek tangguh dan disiplin. Wajahnya yang tegas dan postur tubuhnya yang selalu tegak membuatnya tampak seperti sosok yang sulit didekati. Tapi justru itulah yang membuat Boboiboy semakin tertarik.
“Bro, ngelamun lagi?” suara Gopal, si gembul pecinta makanan, mengagetkan Boboiboy dari lamunannya. Gopal datang sambil menggenggam sekotak nasi lemak yang entah dari mana dia dapatkan, padahal baru aja mereka selesai sarapan di kantin.
“Keliatannya sih kayak lagi mikirin makanan, tapi kalo diliat dari ekspresimu itu… pasti Yaya lagi kan?” Gopal menyeringai sambil mengunyah.
Boboiboy mengelak sambil memukul pelan bahu Gopal, “Ngaco ah, Gopal! Aku cuma mikir tugas Matematika yang kemarin Cikgu Papa kasih, belum kelar.”
“Kalo tugas Matematika, yang kamu pikirin pasti bukan Yaya, tapi Ying,” tiba-tiba Fang, sahabat sekaligus rivalnya, nimbrung dengan ekspresi cool-nya. Fang memang suka nyela, tapi diam-diam dia juga perhatian, meskipun sering bikin suasana jadi awkward dengan komentar pedasnya.
“Ying emang pinter Matematika, tapi dia juga cerewet banget!” Boboiboy menggaruk kepala sambil nyengir, mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
“Yaya tuh keren ya, tegas tapi selalu bantu kalo ada yang kesusahan,” komentar Ying yang tiba-tiba muncul di samping mereka. Dengan cepat, dia melompat kecil, mengubah posisi duduknya, dan tanpa basa-basi langsung mengeluarkan buku pelajaran.
“Udah jangan gosipin Yaya, ayo kita mulai belajar.”
Boboiboy cuma bisa menghela napas panjang. Kalau udah ngumpul begini, rasanya susah buat serius. Gopal terus aja ngemil, Fang dengan ekspresinya yang datar tapi sarkas, dan Ying yang seperti biasa nggak pernah bisa diem. Di tengah-tengah semua itu, diam-diam pandangan Boboiboy kembali tertuju pada Yaya yang sedang duduk sendiri di depan kelas, fokus membaca.
Dia tahu, perasaannya nggak seharusnya terjebak dalam hal ini. Sebagai seorang pahlawan, dia punya tanggung jawab besar, bukan cuma buat dirinya sendiri tapi juga buat galaksi. Tapi setiap kali melihat Yaya, hatinya selalu terasa hangat, seperti ada tarikan gravitasi yang nggak bisa dia lawan.
---
Hari-hari berlalu dengan berbagai aktivitas sekolah yang biasa, tapi buat Boboiboy, tiap kali dia melihat Yaya, dunia serasa melambat. Kadang, ketika Yaya sedang mengatur kegiatan ekstrakurikuler dengan penuh semangat, Boboiboy tertegun memperhatikan cara Yaya bicara, gerakan tangannya yang elegan, dan senyumnya yang kadang muncul saat tugasnya selesai dengan baik.
“Aduh, ketauan lagi ngelamun,” bisik Boboiboy ke dirinya sendiri saat dia sadar Fang menatapnya dengan mata tajam.
“Ngapain liatin Yaya terus?” Fang akhirnya buka suara dengan nada datar, tapi jelas mengandung sindiran.
“Dia kan ketua ekskul, keren aja liat caranya memimpin,” jawab Boboiboy defensif, berharap Fang nggak akan menanggapi lebih jauh. Tapi Fang cuma mendengus pelan sambil melipat tangan.
“Jangan pura-pura nggak tau. Kita semua udah tau kalo kamu suka sama dia,” gumam Fang sambil beranjak pergi, meninggalkan Boboiboy yang langsung merasa pipinya memanas. Nggak mungkin banget kan, kalo semua orang tau kecuali Yaya sendiri?
Di sisi lain, Yaya memang selalu fokus dengan tugas dan tanggung jawabnya. Dia bukan tipe yang terlalu peduli dengan hal-hal kecil seperti perasaan. Baginya, semuanya harus berjalan dengan teratur dan disiplin.
Tapi, kadang tanpa dia sadari, ada momen di mana dia merasa ada yang memperhatikannya. Dan setiap kali dia menoleh, biasanya Boboiboy langsung mengalihkan pandangan atau berpura-pura sibuk.
Suatu hari, saat mereka semua berada di lapangan basket untuk latihan rutin, Boboiboy akhirnya memberanikan diri untuk mendekati Yaya. Kali ini dia merasa harus bicara, meskipun dia belum tahu apa yang sebenarnya ingin dia katakan.
“Yaya, kamu… kelihatan capek ya?” tanya Boboiboy dengan nada hati-hati. Dia tahu Yaya tipe yang nggak suka dianggap lemah, tapi ekspresinya hari itu memang terlihat sedikit lebih lesu.
“Cuma banyak pikiran aja. Nggak apa-apa kok, ini udah biasa,” jawab Yaya sambil tersenyum tipis. Tapi entah kenapa, senyum itu malah bikin hati Boboiboy terasa nyesek. Dia tahu, Yaya selalu berusaha kuat di depan semua orang, tapi mungkin dia juga punya sisi rapuh yang jarang diperlihatkan.
“Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita ke aku,” ujar Boboiboy pelan. “Aku tahu kita sibuk, tapi nggak ada salahnya berbagi beban.”
Yaya menatap Boboiboy sejenak, sedikit terkejut mendengar kata-kata itu. Biasanya, Boboiboy yang dia kenal selalu ceria dan nggak pernah serius soal hal-hal seperti ini. Tapi hari itu, tatapan mata Boboiboy terasa lebih dalam, seolah ada perasaan yang selama ini tersembunyi.
Sebelum Yaya sempat menjawab, suara Gopal terdengar dari kejauhan, “Woi! Boboiboy! Yuk makan, aku nemu warung baru yang jual nasi goreng enak banget!”
Momen serius itu buyar seketika. Boboiboy dan Yaya sama-sama tersenyum tipis, lalu Yaya mengangguk, “Nanti kita lanjut bicara ya, aku mau balik duluan.”
“Boleh, nanti aku tunggu,” jawab Boboiboy sambil menahan senyumnya.
Saat Yaya berjalan menjauh, Boboiboy merasakan ada secercah harapan. Mungkin suatu hari nanti, dia bisa lebih dari sekadar teman di mata Yaya. Tapi untuk sekarang, dia akan tetap jadi Boboiboy yang peduli dan selalu ada untuk orang lain, terutama Yaya.
---
Malam itu, di kamar, Boboiboy membuka obrolan grup mereka. Gopal sudah sibuk berbicara tentang menu makanan yang ingin dia coba besok, sementara Ying mengeluh soal tugas yang menumpuk. Fang seperti biasa hanya memberi reaksi dingin dengan meme-meme sarkas.
Tapi, di tengah obrolan yang ramai itu, Boboiboy menyadari satu hal. Meskipun dia punya kekuatan elemen yang luar biasa, menghadapi perasaan adalah tantangan yang jauh lebih sulit. Dan di sanalah dia berada, terjebak dalam perasaan diam-diam yang mungkin hanya bisa dia simpan sendiri—untuk sekarang.
Kadang, cinta memang tidak harus dinyatakan dengan kata-kata. Ada saat di mana kehadiran dan perhatian kecil sudah cukup untuk menunjukkan rasa. Tapi sampai kapan dia bisa terus memendamnya dalam diam? Entah. Yang jelas, dia tahu bahwa cerita ini belum selesai.
Mungkin besok, lusa, atau kapan pun nanti, Boboiboy akan menemukan momen yang tepat. Tapi untuk saat ini, dia hanya akan terus berada di samping Yaya, menjaga jarak namun tetap dekat—seperti gravitasi yang tak terlihat, namun selalu ada.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Romance
Fanfiction[Sebenarnya kumpulan cerita One/two/three-shoot] Cinta yang tulus tidak selalu perlu diumbar dengan kata-kata. Kadang, keheningan dan momen-momen kecil cukup untuk membuat perasaan itu terasa nyata, meskipun belum terungkap sepenuhnya. era #boya