Beberapa minggu berlalu sejak percakapan singkat antara Boboiboy dan Yaya. Hubungan mereka tetap seperti biasa—dekat, tapi masih penuh dengan batas-batas yang tidak terucapkan. Boboiboy tahu, perasaannya semakin kuat setiap kali dia berada di dekat Yaya. Tapi di sisi lain, dia juga takut menghancurkan persahabatan mereka.
Hari itu, SMA Akademi Pulau Rintis sedang mempersiapkan Festival Tahunan. Yaya, sebagai ketua panitia, sibuk memastikan segala persiapan berjalan lancar. Semua orang terlihat antusias, kecuali satu orang—Boboiboy. Dia diam-diam merasa gelisah karena sudah lama menyimpan perasaan, namun tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya.
“Kenapa, Boy? Dari tadi kayaknya murung mulu,” tanya Gopal sambil mengunyah sebungkus keripik. “Jangan bilang gara-gara Yaya lagi.”
Fang yang sedang duduk santai di dekat mereka ikut menyela dengan nada datar, “Kalo emang ada yang mau kamu sampaikan, ngomong aja. Jangan pura-pura sibuk bantuin Yaya padahal sebenernya cuma mau deketin dia.”
Boboiboy menghela napas panjang. “Aku takut, Fang. Takut kalau ngomong terus malah jadi canggung. Aku nggak mau ngancurin persahabatan kita.”
Gopal dan Fang saling bertukar pandang. Meski Gopal biasanya cuma mikirin makanan, kali ini dia serius. “Terkadang, jujur sama perasaan sendiri itu jauh lebih baik, bro. Siapa tahu Yaya juga ngerasain hal yang sama?”
Di tempat lain, Yaya sibuk memastikan semua dekorasi sudah siap. Tapi ada yang aneh hari itu. Wajah Yaya terlihat lebih tegang dari biasanya. Meskipun dia berusaha menyembunyikannya dengan senyum, Ying, yang selalu cerewet, langsung bisa melihat perbedaan itu.
“Ya, kenapa? Kelihatan kayak lagi mikirin sesuatu deh,” tanya Ying sambil menatap Yaya dengan cemas.
“Enggak kok, aku cuma capek aja,” jawab Yaya singkat. Tapi Ying tidak mudah dibodohi.
“Kamu yakin bukan gara-gara Boboiboy? Aku tau kalian berdua udah kayak ada sesuatu yang nggak jelas deh belakangan ini,” cetus Ying sambil tertawa kecil.
Yaya terdiam sesaat. Benar, Boboiboy memang sering muncul dalam pikirannya akhir-akhir ini. Dia merasa bingung dengan perubahan sikapnya sendiri—mengapa tiap kali Boboiboy tersenyum atau menunjukkan perhatian kecil, hatinya berdebar lebih cepat? Sebagai gadis yang selalu rasional, Yaya tidak terbiasa dengan perasaan seperti ini.
---
Hari H Festival pun tiba. Sekolah dipenuhi oleh siswa yang mengenakan pakaian tradisional, bazar makanan yang ramai, dan pertunjukan seni yang meriah. Tapi di tengah kemeriahan itu, Boboiboy justru merasa semakin cemas. Dia sadar, kalau dia tidak segera bertindak, mungkin kesempatan untuk menyatakan perasaannya akan hilang.
Di sisi lain, Yaya juga sedang berjuang dengan pergolakan dalam dirinya. Dia mencoba bersikap profesional sebagai ketua panitia, tetapi perasaannya terhadap Boboiboy semakin sulit dia abaikan. Apalagi setiap kali dia melihat Boboiboy, dia merasa ada sesuatu yang berbeda. Sebuah perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Puncaknya terjadi saat pertunjukan musik. Saat lagu-lagu romantis mulai dimainkan, suasana festival tiba-tiba menjadi lebih hangat dan intim. Banyak pasangan yang mulai berdansa di tengah lapangan. Yaya sedang berdiri di dekat panggung, memastikan semua berjalan lancar, ketika tiba-tiba Boboiboy menghampirinya.
“Yaya,” Boboiboy memulai dengan nada ragu, “aku ada yang mau aku omongin.”
Yaya menoleh dengan tatapan penuh tanda tanya. “Ada apa? Kamu kelihatan serius banget.”
Boboiboy menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. “Aku… aku udah lama mikirin ini. Dan mungkin ini terdengar bodoh, tapi aku nggak bisa terus pura-pura lagi.”
Yaya merasa ada sesuatu yang berat dalam kata-kata Boboiboy, namun dia tetap tenang, menunggu kelanjutannya. Suara musik latar yang lembut membuat suasana menjadi semakin mendebarkan.
“Aku suka sama kamu, Yaya. Dari dulu. Tapi aku nggak berani ngomong karena takut merusak apa yang kita punya sekarang,” Boboiboy akhirnya mengungkapkan, suaranya terdengar pelan tapi tegas.
Mata Yaya sedikit membesar mendengar pengakuan itu. Dia tidak menyangka, momen ini akan datang. Selama ini, dia berpikir bahwa perasaan aneh yang dia rasakan hanya perasaannya sendiri. Tapi sekarang, mendengar langsung dari Boboiboy, hatinya terasa campur aduk.
Yaya terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata itu. Di dalam dirinya, ada dorongan kuat untuk menjawab, tapi logikanya masih menahan.
“Boboiboy, aku… aku nggak tau harus ngomong apa,” jawab Yaya pelan, menunduk agar Boboiboy tidak melihat ekspresi wajahnya yang penuh kebingungan.
“Maaf kalo aku bikin kamu nggak nyaman. Aku cuma mau jujur sama perasaan aku. Tapi apapun jawaban kamu, aku cuma pengen kita tetap seperti biasa, sahabat baik,” Boboiboy berusaha tersenyum meski hatinya berat.
Namun, sebelum Yaya bisa merespons lebih jauh, tiba-tiba suara teriakan terdengar dari arah lapangan. Itu Gopal, yang dengan penuh semangat mengundang mereka semua untuk ikut lomba makan yang baru saja dimulai. Suasana yang tadinya tegang seketika mencair karena kelakuan konyol Gopal.
Yaya dan Boboiboy saling menatap, lalu tertawa kecil. Mungkin ini bukan momen yang sempurna untuk menyelesaikan semuanya, tapi setidaknya mereka tahu perasaan masing-masing.
---
Malam itu, setelah semua selesai, Yaya duduk sendiri di bangku taman sekolah, mencoba menenangkan pikirannya. Dia memikirkan kata-kata Boboiboy tadi. Jujur, dia merasa lega karena ternyata perasaan itu tidak sepihak. Tapi di sisi lain, dia juga masih ragu dengan apa yang harus dia lakukan.
Tiba-tiba, Boboiboy datang dan duduk di sampingnya. Mereka berdua terdiam sejenak, hanya menikmati suasana malam yang sejuk.
“Terima kasih udah jujur sama aku tadi,” kata Yaya akhirnya memecah keheningan.
“Aku cuma pengen kamu tahu perasaanku, meski aku tau ini mungkin nggak mudah buatmu,” jawab Boboiboy dengan nada lembut.
Yaya menatap langit malam sambil tersenyum tipis. “Kadang kita terlalu fokus sama logika, tapi lupa kalau perasaan juga perlu dipertimbangkan. Mungkin aku juga selama ini terlalu keras sama diri sendiri.”
Mendengar itu, Boboiboy merasa ada harapan yang kembali tumbuh di hatinya. “Jadi, apa itu artinya…”
“Pelan-pelan aja ya, Boy. Aku nggak mau buru-buru, tapi aku juga nggak mau kita pura-pura nggak ada apa-apa. Kita lihat aja gimana nantinya. Tapi yang jelas, aku nggak keberatan kalo kita jadi lebih dari sekadar teman,” jawab Yaya dengan senyum tulus yang penuh makna.
Boboiboy tertegun sejenak, merasa hatinya meluap dengan kebahagiaan yang sulit dijelaskan. “Aku janji bakal sabar. Yang penting, kita tetap bareng-bareng dan nggak ada yang berubah.”
Di bawah cahaya rembulan yang temaram, Boboiboy dan Yaya akhirnya menemukan jalan tengah dalam perasaan mereka. Tanpa perlu terburu-buru, mereka berdua sepakat untuk membiarkan hubungan ini berkembang dengan alami—seperti gravitasi yang perlahan menarik, tapi pasti.
Dan di momen itu, Boboiboy merasa, meskipun perjalanannya masih panjang, dia telah mengambil langkah pertama yang benar. Dia tidak lagi terjebak dalam keraguan, karena dia tahu, Yaya pun merasakan hal yang sama.
---
Tamat dengan pesona yang menghangatkan hati
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Romance
Fanfiction[Sebenarnya kumpulan cerita One/two/three-shoot] Cinta yang tulus tidak selalu perlu diumbar dengan kata-kata. Kadang, keheningan dan momen-momen kecil cukup untuk membuat perasaan itu terasa nyata, meskipun belum terungkap sepenuhnya. era #boya