Di Balik Dingin dan Tegasnya Hati

183 22 1
                                    






Yaya🌸 X Ice❄️







Sore itu, langit berwarna jingga kemerahan, sinar matahari mulai meredup, menciptakan suasana hangat namun tenang di halaman belakang sekolah. Taman sekolah yang biasanya ramai oleh siswa yang berlalu-lalang kini sepi, hanya ada suara angin yang berbisik lembut di antara pepohonan rindang.

Di salah satu sudut taman, di bawah pohon besar yang daunnya berguguran, tampak seorang gadis manis berkerudung merah muda duduk tenang sambil membaca buku pelajaran. Gadis itu adalah Yaya, murid teladan yang selalu serius dalam belajar, namun tetap ceria dan ramah kepada semua orang.

Hari itu, Yaya sengaja mencari tempat yang sepi untuk menghabiskan waktu sore dengan membaca. Baginya, taman ini adalah tempat sempurna untuk mendapatkan ketenangan. Namun, Yaya tidak sendirian.

Dari kejauhan, terlihat sosok Ice, seorang cowok pendiam dengan gaya khasnya yang selalu terlihat malas. Wajahnya yang datar dan dingin seolah mengatakan bahwa ia tidak tertarik pada apapun yang terjadi di sekitarnya. Meski begitu, ada sesuatu yang membuatnya memilih untuk berjalan ke arah taman yang biasanya ia hindari.

Ice mengedarkan pandangannya, mencari tempat yang nyaman untuk bersantai. Ia akhirnya melihat Yaya yang sedang asyik membaca. Tanpa berpikir panjang, Ice mendekati bangku panjang di dekat Yaya.

Bukannya menyapa atau membuka pembicaraan, Ice malah duduk dengan santai, meletakkan tasnya di sebelah bangku, dan tanpa berkata apa-apa, ia merebahkan tubuhnya di bangku itu dengan posisi memunggungi Yaya. Dengan cepat, Ice menutup matanya, seolah-olah dunia luar tidak ada lagi dalam pikirannya.

Yaya menoleh dan terkejut melihat Ice yang tiba-tiba datang. “Eh, Ice? Tumben kamu ke sini. Biasanya kamu ngumpet di kelas atau di kantin buat tidur.”

Ice hanya bergumam pelan, “Di sini adem. Enak buat tidur.”

Yaya tersenyum kecil mendengar alasan sederhana dari Ice. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Ice adalah tipe cowok yang lebih memilih tidur daripada melakukan kegiatan lain.

Tapi anehnya, meski Ice dikenal sebagai cowok yang malas gerak, Yaya sering menemukan Ice di tempat yang sama dengannya, baik di perpustakaan, gym, atau bahkan taman seperti sekarang. Dalam hati, Yaya mulai merasa penasaran, Apa dia sengaja ke sini karena tahu aku di sini? Atau cuma kebetulan?

Sementara Yaya masih sibuk dengan pikirannya, Ice sudah mulai terlelap. Ia memang cepat sekali tertidur, terutama jika menemukan tempat yang nyaman. Namun, meski terlihat sedang tidur, telinga Ice masih mendengar suara-suara di sekitarnya, termasuk suara Yaya yang kadang bergumam pelan ketika membaca.

Sebenarnya, Ice bukan tidak sadar akan keberadaan Yaya, malah sebaliknya. Meski terkesan cuek, Ice selalu memperhatikan Yaya dengan caranya sendiri, meskipun hanya lewat lirikan-lirikan singkat.

Beberapa menit berlalu, Yaya kembali fokus pada bukunya. Namun, rasa penasarannya pada Ice membuatnya terusik. Ia memutar otaknya mencari cara untuk membuka obrolan dengan cowok yang terkenal susah didekati itu. Yaya akhirnya menutup bukunya dan menatap Ice yang masih terbaring santai.

“Hey, Ice. Aku boleh tanya sesuatu nggak?”

Ice membuka satu matanya sedikit, matanya setengah terbuka dengan ekspresi malas. “Hmmm… apa?”

Yaya tersenyum tipis, “Kenapa sih kamu suka banget tidur di mana-mana? Apa nggak bosan gitu tiap hari tidur terus?”

Ice yang sudah terbiasa dengan pertanyaan semacam itu hanya menghela napas ringan. “Tidur itu enak. Gak perlu mikir yang ribet-ribet. Lagian… aku mager.”

Yaya terkikik mendengar jawaban Ice yang sederhana dan jujur. Baginya, Ice adalah misteri yang unik. Cowok ini pintar, tapi memilih hidup dalam kenyamanan minimalis.

“Iya sih, kamu bener juga. Tapi, bukannya lebih asyik kalau kamu ngelakuin hal-hal produktif? Misalnya, ikut ekskul atau belajar lebih giat lagi. Kamu kan sebenarnya pinter, Ice. Sayang banget kalo potensi kamu cuma dipakai buat tidur.”

Ice tetap dalam posisinya, tapi kali ini ia sedikit menggeliat seperti ingin menghindari nasihat Yaya. “Produktif itu capek. Aku lebih suka hidup santai. Yang penting aku nyaman, nggak ada yang ganggu.”

Yaya terdiam sesaat, memandangi Ice dengan ekspresi berpikir. Dia tidak bisa membantah filosofi hidup sederhana Ice, tapi dalam hati, Yaya merasa ada lebih dari sekadar kemalasan di balik sikap Ice. Ada sisi lain dari cowok ini yang belum sepenuhnya ia pahami.

Tiba-tiba, sebuah pikiran iseng melintas di benaknya.

“Eh, Ice… tapi kamu kok sering tiba-tiba muncul di tempat yang sama kayak aku, ya? Jangan-jangan… kamu ngikutin aku?”

Mendengar itu, mata Ice terbuka sedikit lebih lebar. Wajahnya tetap datar, tapi ada semburat merah yang hampir tidak terlihat di pipinya. “Ngikutin? GeeR banget kamu. Aku cuma kebetulan aja di sini. Lagian, siapa juga yang mau ngikutin kamu?”

Yaya mendekatkan wajahnya sedikit, menatap Ice dengan tatapan selidik. “Hmmm, beneran nih? Masa iya cuma kebetulan?”

Ice yang merasa terpojok akhirnya memutuskan untuk kembali ke mode defensifnya: tidur. Ia menutup matanya rapat-rapat dan bergumam pelan, “Aku mau tidur lagi… malas bahas yang nggak penting.”

Yaya hanya bisa menggeleng sambil tertawa kecil. Ice memang susah ditebak. Ia selalu punya cara untuk menghindar dari obrolan yang membuatnya tidak nyaman.

Meski begitu, Yaya tidak bisa memungkiri bahwa ada sisi dari Ice yang membuatnya merasa nyaman, meski cowok itu jarang sekali berbicara. Kehadiran Ice yang tenang dan diam-diam sering kali memberikan rasa aman yang sulit dijelaskan.

Seiring berjalannya waktu, matahari semakin turun, dan langit mulai berubah warna menjadi keunguan. Taman yang tadi terang benderang kini mulai dihiasi cahaya lampu taman yang redup.

Yaya kembali membuka bukunya, mencoba fokus membaca, tapi pikirannya terus tertuju pada Ice. Dalam hati, ia bertanya-tanya, Kenapa ya, aku merasa ada sesuatu yang spesial di balik sikap cuek Ice ini? Apa dia benar-benar nggak peduli, atau dia cuma berusaha menutupi perasaannya?

Tak lama kemudian, suara lembut Yaya memecah keheningan. “Ice, kamu tahu nggak, meskipun kamu selalu kelihatan cuek, tapi aku senang kamu sering ada di sekitar aku. Kadang aku merasa tenang aja, meski kamu nggak ngapa-ngapain.”

Ice yang masih berpura-pura tidur mendengar kata-kata Yaya itu, tapi ia tidak merespons langsung. Hatinya sedikit tersentuh, meski wajahnya tetap datar. Tanpa membuka matanya, ia hanya bergumam pelan, “Hmmm… sama-sama.”

Yaya tersenyum kecil. Meskipun jawaban Ice singkat dan datar, ia bisa merasakan kehangatan yang tersembunyi di baliknya. Yaya kemudian kembali membaca, kali ini dengan perasaan lebih ringan.

Mungkin, di balik sikap dingin dan malas Ice, ada perhatian yang ia tunjukkan dengan caranya sendiri. Bukankah kadang perhatian itu tidak harus diucapkan dengan kata-kata, tapi cukup dengan kehadiran yang diam-diam?

Sore itu berlalu dalam keheningan yang nyaman. Meskipun mereka tidak banyak bicara, ada koneksi yang terjalin secara alami.

Yaya akhirnya menyadari bahwa tidak semua orang harus ekspresif untuk menunjukkan kepedulian. Ada orang seperti Ice, yang memilih menunjukkan perasaannya dengan cara yang lebih halus, bahkan mungkin tidak terlihat oleh orang lain.

Setelah beberapa saat, Yaya menutup bukunya dan bersiap untuk pulang. Ia menoleh ke arah Ice yang masih terbaring di bangku. “Ice, udah sore. Kamu nggak pulang?”

Ice membuka matanya perlahan, lalu duduk sambil menguap lebar. “Ya udah, aku ikut pulang.”

Keduanya berjalan berdampingan keluar dari taman. Selama perjalanan, Yaya sesekali melirik Ice yang berjalan santai dengan tangan di saku, terlihat begitu rileks.

Meski mereka tidak banyak berbicara, Yaya merasakan sesuatu yang hangat tumbuh di antara mereka. Mungkin ini yang disebut kenyamanan yang tidak butuh banyak kata.

Silent RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang