Yang Terjadi Kalau Kami Hanya Berdua

1.5K 155 13
                                    

𓃮𓃮𓃮

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

𓃮𓃮𓃮

Suasana pagi hari di Perpustakaan Pusat kampus kali ini cukup ramai. Meskipun nggak seramai kalau sudah menginjak jam sebelas siang, tapi konsentrasi gue berhasil dibuat agak kacau karena suara perdebatan rapat divisi kepanitiaan yang gue nggak tahu itu apa. Juga karena suara mesin kopi mas barista yang selalu asik-asiknya bersiul di siang hari begini.

"Presentasi nanti tuh bakal ada tanya jawab dari Pak Jefandra nggak ya?"

Sambil menunggu kelas selanjutnya, gue menghabiskan waktu di salah satu join table di lantai empat perpustakaan bersama Jean dan Gaura —teman sejurusan yang kebetulan sering dipertemukan dalam beberapa kelas paket bersama.

"Nggak tahu deh, tapi kemungkinan iya nggak sih?" Gue sih cuek. Dari awal masuk gue sudah tahu kalau jurusan ini nggak akan tepat buat gue, nggak akan masuk ke otak gue yang mungil ini.

"Semoga nggak galak banget deh kalau kasih nilai. Sayang banget kalau ganteng-ganteng tapi pelit terus kejam." Gue rasa Jean juga asal ceplos waktu mengatakannya. Tangannya masih memoles lip gloss ke bibir tipisnya dan matanya masih fokus ke pantulan wajahnya di cermin kecil yang selalu dia bawa ke mana-mana.

Hari ini gue sedikit gugup. Mendekati Ujian Akhir Semester, minggu tenang itu cuma angan-angan. Yang ada justru minggu kacau, di mana kita sebagai mahasiswa selalu dikejar-kejar tugas dan kuis yang kalau dibikin daftar mungkin bisa lebih panjang dari wish list liburan di notes gue sendiri. Belum lagi tagihan presentasi final project seperti yang sedang menunggu gue beberapa jam ke depan. Final project mata kuliah Dasar Pemrograman.

Kuliah Teknologi Kedokteran bukan berarti gue akan lulus dengan gelar S.Ked. dan berhak melanjutkan profesi sebagai dokter, lalu mengambil spesialis setelah beberapa lama mendedikasikan diri. Salah. Gue juga kena prank sama diri gue sendiri. Kalau semua orang tahu cerita ini, mungkin gue akan mendapatkan beribu umpatan dan hujatan yang tentunya menyalahkan kecerobohan gue. Tapi nggak apa-apa, ayo kita kembali ke waktu di mana gue melakukan salah satu kesalahan terbesar dalam hidup.

Hari itu di Bulan April tahun lalu. Gue hampir nggak punya jalan tengah untuk bisa kuliah di kampus impian gue, Universitas Sahna Wikrama. Hari ini batas akhir pendaftaran jalur prestasi, satu-satunya harapan gue. Tentu karena gue enggan buat mencoba jalur lain yang peluang keterimanya lebih kecil. Maksud gue, nilai gue cukup bagus dan gue berasal dari SMA swasta dengan akreditasi unggul. Oke, gue akan jujur saja. Waktu SMA  nilai gue termasuk deretan teratas di peringkat paralel dan gue merasa percaya diri untuk mendaftar di jurusan Kedokteran. Tapi Ayah gue pantang mengizinkan gue untuk kuliah di luar kota, apalagi Surabaya yang harus menempuh belasan jam dari Bogor.

Waktu sudah mulai sore dan gue semakin merasa pasrah. Nggak lama, suara mesin mobil yang berhenti tepat di depan rumah membuat gue tertegun. Beberapa jam lalu gue memang sempat chatan sama Awan yang kontaknya gue dapat setelah pertemuan dan makan malam yang mempertemukan kami pertama kali. Tapi gue nggak menyangka kalau dia akan repot-repot datang sambil membawakan dua kantung plastik bingkisan yang isinya pasti akan gue tandaskan paling lambat lusa.

DISASTER COMESSYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang