Anak Pertama Tante Dalia

1.1K 149 8
                                    

Vote dan komen lebih banyak lagi dong!!!

Ngomong-ngomong, chapter selanjutnya udah selesai ditulis, tapi aku publish kalau votenya tembus 600 ya (BISA KOK!!!)

Ngomong-ngomong, chapter selanjutnya udah selesai ditulis, tapi aku publish kalau votenya tembus 600 ya (BISA KOK!!!)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

‧₊˚ ⋅  𓐐𓎩 ‧₊˚ ⋅

Setengah jam gue habiskan untuk melihat slide power point materi mata kuliah Kimia Dasar II yang dikirimkan Prof. Aghni tadi malam. Benar-benar cuma melihat, pakai tatapan kosong. Tatapan putus asa karena gue menyadari bahwa ujian di kuliah nggak akan bisa dikerjakan hanya karena gue suka Kimia. Kesukaan gue nggak akan menyelamatkan gue dari kejamnya soal-soal elektrokimia, sebaliknya hanya akan membuat gue merasa keracunan amonia yang mencekik.

Pagi ini gue bangun lebih awal dengan niat belajar agar lembar jawaban gue nggak adiwiyata nantinya. Nggak bersih-bersih banget maksudnya. Tapi gue baru ingat kalau gue punya hutang cerita tentang pertemuan pertama gue dengan Awan. Jadi marilah kita mulai pagi ini dengan cerita itu, sebelum nanti gue akan menggila bersama tumpukan kertas dan ratusan slide di tablet gue.

Waktu itu langit berangsur gelap, mengiringi perjalanan gue selepas acara arisan keluarga berkedok ulang tahun keponakan. Melelahkan. Bagaimana enggak, di antara saudara persepupuan, nggak ada satu pun yang sebaya dengan gue. Persebaran rentang usia yang nggak merata menempatkan gue seorang diri dengan beberapa sepupu yang sudah menginjak dunia kerja dan beberapa lainnya justru masih duduk di bangku sekolah dasar. Bahkan, batita pun ada.

"Lucu banget sih tadi anaknya Om Irdan, baru juga nggak ketemu beberapa bulan udah lincah banget."

Bunda, si paling gemas dengan anak-anak.

"Ya, namanya juga anak cepat banget tumbuhnya. Lihat aja si Asha, perasaan baru kemarin Ayah daftarin TK sekarang udah mau kuliah aja."

Kuliah.. kuliah.. kuliah..

Bunda mengangguk setuju, lalu sekilas melirik ke belakang dan gue yakin bisa ditangkapnya raut kesal bercampur malas yang kentara di wajah gue.

"Sekolah yang benar ya anak Bunda."

Hembusan napas besar gue loloskan, lalu gue hanya iya-iya aja daripada membantah dan hanya akan membuat suasana jadi nggak mengenakkan.

Sebelum benar-benar pulang dari suatu acara, seperti biasa keluarga gue akan mampir untuk makan di luar. Optimis kalau sampai di rumah pasti akan buru-buru istirahat dan malas untuk memasak. Kami mampir ke rumah makan langganan untuk memesan menu favorit gue yang itu-itu saja, gurami bakar asam manis.

"Laisa!"

Sore itu, gue kembali melihat sosok Tante Dalia yang pernah gue temui sepuluh tahun lalu. Gue masih delapan tahun dan nggak ngerti apa-apa saat itu. Tapi wajahnya yang cantik dan tinggi badannya yang sedikit lebih daripada rata-rata wanita Indonesia membuat gue nggak bisa lupa sama beliau.

DISASTER COMESSYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang