Loh, kok udah Rabu aja??
Jangan lupa vote dan komen, biar mereka cepet baikan hehehe
Happy very long reading!
‧₊˚ ⋅ 𓐐𓎩 ‧₊˚ ⋅
Mata gue bengkak dan hidung gue nggak bisa bernapas dengan normal begitu gue terbangun di jam delapan pagi. Gue masih di kos Vey dan merelakan tiga puluh lima ribu gue terbuang begitu saja. Pagi ini rasanya berat, mungkin karena gue menangis semalaman sampai Vey menyerah untuk menenangkan gue dan memilih untuk membiarkan gue kembali sesenggukan menghadap dinding.
"Nih, minum." Vey pasti bangun lebih dulu karena saat ini dia sudah siap dengan kemeja broken white-nya, juga sepasang kaus kaki lilac yang kelihatan lucu dari sela-sela mata gue yang sulit melek.
"Thanks. Lo ngajar jam sembilan?"
Vey punya pekerjaan part time sebagai tutor untuk anak-anak SD di perumahan elit Grand Peninsula Park setiap akhir pekan. Dia mengiyakan pertanyaan gue dan pergi nggak lama kemudian, meninggalkan gue di kamarnya dengan kondisi yang begitu... mengenaskan.
Ransel gue teronggok hampir masuk ke kolong tempat tidur, laptop gue yang terakhir gue pakai untuk mengedit template budgeting Mahawira masih terbuka di meja belajar Vey, sedang ponsel gue nggak tahu wujudnya ada di mana. Gue beranjak untuk mengecek barangkali gue melemparnya asal semalam karena menangis begitu hebat. Tapi beruntung, benda itu masih aman berada di atas rak yang bersebelahan dengan deretan skin care milik Vey.
Ada beberapa notifikasi, tentu aja. Sejak masuk di Mahawira, ada beberapa batasan yang sebelumnya gue terapkan lalu hilang begitu aja. Salah satunya untuk nggak membalas pesan apapun di atas jam dua belas malam. Nyatanya, dengan tangisan yang masih terus bersuara, gue berusaha menyelesaikan beberapa lembar revisi surat yang sudah gue buat weekdays ini.
Yang pertama mencuri perhatian gue pasti pesan-pesan dari Awan. Dia mengirimkan banyak permintaan maaf, dengan bilang bahwa dia benar-benar nggak tahu apapun yang dia katakan saat mabuk waktu itu. Tapi dia merasa bersalah, untuk apapun yang membuat gue menangis seperti semalam. Gue cuma membaca isi pesannya dari notifikasi, belum berminat untuk membuka dan kembali dibuat menangis karenanya.
Tengah malam itu, gue nggak bisa tidur karena membayangkan dunia seperti apa yang Awan arungi sendirian. Gue terus teringat ceritanya tentang tumbuh bersama 'mbak' di tengah keluarga yang pecah. Dia berdiri sendiri, menuntun diri sendiri, terombang-ambing tanpa ada yang bisa diajak bicara. Gue nggak menghakimi Tante Dalia atas hal itu, karena gue tahu ada banyak hal yang juga beliau lewati untuk kembali pulih seperti saat ini. Gue hanya merasa kasihan dengan Awan, gue merasa nggak mudah untuk menjadi Awan yang dikenal banyak orang. Dia pasti bertemu satu dan banyak orang yang mengantarkannya higga jadi seperti ini. Dan bergaul bebas, juga minum-minum mungkin bukan hal yang besar bagi Awan. Itu mugkin cuma pelariannya dari masalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
DISASTER COMESSY
Romance[ Seri #1 Mahawira x Calon Ibu Rumah Tangga ] ‧₊˚ ⋅ 𓐐𓎩 ‧₊˚ ⋅ DISASTER COMESSY: Disaster Comedy-Messy ••• Jungkir balik Asha, mengejar Awan dan S.T. ••• Benar katanya setelah masuk kuliah kehidupan kita akan terasa jauh berbeda dari masa SMA. Jungk...