Bab 12 : Ledakan Amarah

8 5 5
                                    

Keesokan hari setelah video pembunuhan itu tersebar ke setiap angkatan, Shaga dan Savalas ikut terkena getahnya juga. Seperti saat mereka berdua baru tiba di sekolah, meja belajar mereka dicoret oleh Tipe-X.

Kebanyakan dari coretan yang tertera di atas meja adalah beberapa kata dominan, seperti pembunuh, si paling berkuasa, broken home, cie gak lengkap keluarganya dan kata umpatan lain.

Belum cukup sampai di situ, di papan tulis tertera beberapa kata yang ditulis oleh huruf besar. Hal itu membuat Shaga dan Savalas saling beradu tatap, mencoba untuk mengabaikan cemoohan dari teman sekelasnya.

"Eh, temen-temen. Kira-kira bagusnya nambahin kata apa lagi, ya, di papan tulis?" tanya Kevan.

"Pembunuh, Van! Adik dari pembunuh!" sahut teman laki-lakinya.

"Jangan lupa juga keluarga broken home!! Palingan cuman bertahan beberapa bulan, terus ortunya cerai lagi!"

Kevan menyunggingkan senyum miring. Ia dengan senang hati berjalan ke depan dan menambahkan kata yang disarankan oleh teman-temannya.

Melihat hal itu, Savalas melirik tajam Kevan beserta teman sekelasnya. Percikan amarah terlihat dari sorot mata yang melihat wajah teman sekelas dengan lekat.

"Maksud lo semua kayak gitu buat apa? Lucu kayak gitu, hah? Tahu apa lo soal kehidupan keluarga gue sampai ngomong seenaknya soal rumah tangga mama sama ayah?" tanya Savalas sedikit meninggikan suara.

Namun, bukannya mendapat jawaban serius, teman-temannya malah bersikap seolah pertanyaan itu adalah lelucon. Mereka tertawa semakin keras.

Seseorang di pojok belakang melemparkan kertas yang sudah diremas bulat seperti bola ke arah Savalas, diikuti oleh beberapa orang lainnya. Sorakan dan ejekan mulai terdengar dari seisi kelas.

"Eh, santai aja, Val! Namanya juga hiburan!" seru salah satu dari mereka dengan nada mengejek.

Savalas menunduk, menangkap kertas yang sudah seperti bola dan merobeknya. Sorot mata pemuda itu semakin tajam. "Hiburan, ya? Hiburan macam apa kayak gitu, hah? Lucu kayak begitu?!"

"Yaelah, gitu doang. Skip baperan," sahut Kevan seraya kembali berjalan ke arah bangkunya.

"Lagian itu kenyataannya, kan? Adik dari seorang pembunuh." Kevan kembali melanjutkan seraya melemparkan spidol hitam yang biasa digunakan di papan tulis, dilanjutkan dengan tawa merendahkan.

Shaga yang duduk di sebelah Savalas, merasakan darahnya mendidih. Dia tidak bisa menerima adiknya diperlakukan seperti itu. Dengan cepat, dia bangkit dari tempat duduknya, bersiap untuk membela Savalas.

Namun sebelum Shaga sempat membela, Savalas tiba-tiba menggebrak meja dengan keras. Suara dentuman itu menggema di seluruh ruangan, membuat semua orang terdiam. Sorakan dan tawa seketika lenyap. Shaga sempat menutup telinganya sesaat, sebelum menepuk pundak Savalas.

"S-savalas? Tenang, ya," ucap Shaga dengan suara yang pelan.

Kelas yang tadinya riuh mendadak hening. Semua mata tertuju pada Savalas. Wajahnya merah padam, sorot matanya bersinar penuh amarah.

Tidak ada satu pun yang berani mengeluarkan suara. Bahkan ucapan Shaga pun tak didengar oleh Savalas. Ketegangan memenuhi ruangan, dan keheningan terasa begitu tegang hingga nyaris bisa diraba.

"Lo pikir ini semua lucu?" Suara Savalas terdengar berat dan penuh dengan kemarahan. "Lo semua gak tahu apa-apa soal kehidupan keluarga gue! Lo pada yang ngomong begitu di mana hati nuraninya gue tanya?! Lo pikir gampang jadi gue sama saudara gue? Lo pada tahu apa soal penderitaan kita sebelum akhirnya bisa ketemu lagi?!"

Kepingan Memori Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang