Bab 22 : Ingatan

6 5 4
                                    

Beberapa jam setelah Shaga siuman, kini pemuda itu sudah dipindahkan ke ruangan yang lebih privasi. Tempat tidur yang sekarang ia duduki jauh lebih nyaman dibandingkan sebelumnya, terdapat juga sofa serta meja untuk keluarga yang datang menjenguk.

"Hhh, masih pusing," gumam Shaga memegang kepalanya. Selain karena efek dari benturan keras akibat ulah Kevan, kepalanya sakit karena mendapatkan beberapa ingatan asing yang perlahan mulai terlihat jelas sesaat sebelum pemuda itu siuman.

"Iya, sih, dapet ingatan. Tapi bukan ingatan tentang gimana Mamah gak ngebolehin aku buat ketemu sama mereka berdua." Shaga kembali bergumam. Helaan napas kesal ia hembuskan perlahan. Rasa kesal karena Tamara tidak mengizinkan ia untuk pergi menemui Sagara dan Savalas kembali timbul di hatinya.

"Bukan ingatan ini yang aku mau. Hhh, mana Bang Gara masih gak sadarkan diri lagi sampe sekarang, aku juga gak dibolehin Mamah sama Ayah buat turun dari kasur."

Pada akhirnya, Shaga hanya mampu memijat pelipisnya yang terasa pusing. Ingatan yang baru saja ia dapatkan, jujur saja sangat mengganggu perasaannya saat ini.

Entah mengapa rasa kesal itu semakin timbul saat Tamara melarangnya untuk tidak beranjak dari kasur, sementara Tamara pergi ke rumah neneknya karena ada beberapa hal.

"Aku makin gak ngenalin diri aku," lirihnya pelan. Ia menunduk, melihat salah satu tangannya yang diberikan cairan infus.

"Aku coba chat Savalas aja, deh. Kata Ayah dia udah siuman, aku takut sama kondisi dia."

Memilih untuk menepis perasaan kesal itu, Shaga mulai meraih ponsel dan mencari kontak Savalas.

Mendapatkan penolakan dari sang ayah, membuat Shaga membuang napas gusar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mendapatkan penolakan dari sang ayah, membuat Shaga membuang napas gusar. Sejak siuman dan saat ia bangun pagi di ruangan ini, kepalanya sudah memikirkan banyak hal.

Bagaimana keadaan Savalas, bagaimana keadaan Sagara, dan pertanyaan-pertanyaan seputar siapa dirinya. Hal itu membuat kepala Shaga semakin sakit, dan yang bisa Shaga lakukan sekarang hanya kembali berbaring, menatap langit-langit kamar inap dengan bau obat-obatan yang menyengat indera penciuman.

"Bakal betah aku kalau di hotel. Ini rumah sakit siapa yang betah, coba. Tangan aku aja gak bisa gerak bebas," gerutu Shaga seraya menguap bosan.

Saat Shaga sedang merasa bosan, terdengar suara ketukan pintu. Ia dengan senyum senang langsung menoleh dan mengubah posisinya menjadi duduk. Itu pasti ayahnya, mengingat Devian sejak semalam berada di ruang rawatan Savalas.

"Masuk aja, Yah," ujarnya tanpa terlalu banyak berpikir.

Namun, ketika pintu terbuka, bukan sosok ayahnya yang muncul. Melainkan Kevan. Shaga langsung terpaku, raut wajahnya seketika berubah dingin. Ia mendudukkan dirinya lebih tegak, tatapan tajamnya mengunci pada Kevan yang berdiri canggung di ambang pintu.

"Ngapain kamu ke sini?" Shaga bertanya tanpa basa-basi, nadanya penuh kecurigaan.

Kevan memalingkan wajahnya sejenak, terlihat gugup. Dia kemudian melirik Shaga dengan sorot mata yang sepertinya ingin menunjukkan penyesalan.

Kepingan Memori Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang