Bab 7 : Rahasia yang Tersembunyi

11 5 4
                                    

Sepulang sekolah, Kevan berjalan seorang diri menuju rumah. Begitu sampai di depan pintu rumah, dia langsung membukanya tanpa ragu. Suara derit pintu yang terbuka mengisi udara sejenak, sebelum dia menutupnya kembali dengan pelan.

Ia segera melangkah menaiki tangga, melewati lantai bawah yang sunyi. Setibanya di kamar, tanpa berpikir panjang, Kevan melempar tas sekolahnya ke sembarang arah. Tas itu jatuh dengan bunyi gedebuk yang cukup nyaring.

"Hhh, akhirnya pulang juga," gumam Kevan menjatuhkan dirinya ke kasur yang empuk. Pemuda itu memejamkan mata sejenak, sebelum bayangan seseorang hadir di ingatan.

"Foto itu kayaknya ada di laci," ucapnya pelan. Ia melangkah ke arah laci di sudut kamar, tangan kanan Kevan menggapai pegangan laci paling atas.

Saat laci itu terbuka, dia melihat sekilas berbagai barang kecil yang tertumpuk di dalam. Namun, pandangan pemuda itu segera tertuju pada sebuah pigura foto yang berada di atas semuanya.

Kevan mengambil pigura dengan hati-hati, mengangkatnya dari laci dan membawa benda tersebut ke arah cahaya. Dia menatap foto di dalam pigura itu, sebuah foto lama yang sudah sedikit memudar.

"Sagara."

Tatapan Kevan lekat pada foto Sagara yang berdiri di sampingnya, tersenyum lebar. Saat itu, mereka masih menjadi teman dekat, penuh dengan tawa dan keceriaan.

Kevan mendesah pelan, matanya masih terpaku pada foto itu. "Kapan semuanya berubah, Ga?" gumam Kevan sendirian.

"Gue belum sempet bilang perpisahan waktu lo pindah ke sini," sambungnya. Tak lama, pemuda itu menyunggingkan senyuman miring. "Mungkin kali ini lo yang bakal ngucapin salam perpisahan ke adik-adik lo, cepat atau lambat. Adil, kan, teman?"

Ia kembali memasukkan pigura tersebut ke dalam laci, lantas membuka galeri dan memutarkan sebuah video yang membuat tatapan pemuda itu kian berubah dipenuhi amarah dan dendam yang berkecamuk.

"Rahasia yang lo sembunyiin dari semua orang bakal terungkap dalam waktu yang singkat, sagara. Tapi untuk sekarang, gue gak akan sebar video ini. Bakal gue nikmati usaha lo buat ngelarang mereka jadi temen gue. Setelah itu nikmati hidup lo yang bakal dipenuhi gunjingan semua orang, termasuk keluarga lo sendiri."

🏮

Saat makan malam tiba, kehangatan keluarga Shaga terasa di seluruh ruangan. Meja makan sederhana itu sudah penuh dengan hidangan yang masih mengepul, aroma makanan menyebar memenuhi ruang makan. Shaga duduk di kursinya dengan antusias, matanya berkilauan saat dia bersiap untuk bercerita.

"Mah, tadi sore pas aku lagi di taman sama Savalas, tiba-tiba ingatanku muncul lagi, walaupun cuma dikit-dikit," kata Shaga, suaranya penuh semangat. "Awalnya aku cuman pusing, tapi lama-lama aku inget sesuatu. Ada ... ada gambar pohon besar di kepala aku, yang rasanya aku pernah liat waktu kecil."

Tamara yang sedang mengatur piring dan sendok di meja, berhenti sejenak mendengar cerita putranya. Ia menoleh seraya tersenyum tipis.

"Bagus kalau gitu," kata Tamara dengan suara lembut namun penuh makna. "Itu awalan yang baik. Ingatan kamu pasti akan kembali sedikit demi sedikit."

Tak lama setelah itu, Tamara kembali membuka suara, "Sekarang kita makan malam dulu. Kita bisa lanjut ngobrol setelah ini, oke?"

Mereka mengangguk dan mulai menikmati hidangan yang Tamara sajikan. Benar-benar seperti apa yang Tamara katakan, mereka bertiga makan dengan tenang tanpa ada yang bicara.

Sesaat setelah makan malam selesai, Shaga mengelus perutnya yang terasa kenyang. "Enak, Mah."

"Makasih, loh," sahut Tamara tersenyum simpul mendengar pujian dari Shaga.

Kepingan Memori Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang