Bab 31 : Teman

10 5 5
                                    

Keesokan harinya saat istirahat tiba, Shaga diajak untuk ke atas rooftop oleh Sagara. Katanya Sagara ingin membicarakan sesuatu yang penting, dan hanya ingin ia sendirian yang datang, tidak bersama Savalas.

Oleh sebab itu, sekarang hanya Savalas yang sendirian di kelas. Namun, bagi dia itu adalah hal yang biasa terjadi. Sibuk dengan tugasnya sendiri, tidak perlu melihat sekitar.

Kesunyian yang seperti ini adalah sesuatu yang Savalas dambakan. Tidak ada suara berisik, hanya ada ketenangan abadi.

Namun, ketenangan itu tiba-tiba terganggu ketika seseorang menduduki bangkunya. Savalas mengangkat kepalanya dan mendapati Kevan, yang tersenyum santai, mengacaukan konsentrasinya.

"Ngapain lo duduk di bangku gue?" tanya Savalas dengan nada sarkastis, matanya menyipit menatap Kevan. Rasa kesalnya mendidih, mengingat semua yang terjadi antara mereka.

Kevan hanya menyeringai, tak peduli dengan nada sinis yang dilontarkan Savalas. "Lagi pengen duduk aja di sini. Lagian mereka di rooftop, dan gue gak boleh ikut sama Sagara. Jadi, ya di sini aja."

Savalas melanjutkan membaca bukunya, tidak mengindahkan kehadiran Kevan.

"Mampus," katanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Kevan. Dia berusaha untuk tidak terlalu peduli dengan keberadaan Kevan, seolah keberadaan remaja itu hanyalah hantu yang mengganggu ketenangannya.

Kevan tetap duduk di sana, dengan santai menatap Savalas yang kembali berkutat dengan bukunya. Namun, Savalas menolak untuk membalas tatapan itu, menganggap bahwa Kevan tidak lebih dari sekadar gangguan yang harus diabaikan.

Suasana kelas kembali sunyi, hanya ada suara kertas yang dibalik dan sesekali napas Savalas yang dalam.

Kevan duduk dengan tenang, berusaha memecah keheningan yang terjalin di antara mereka.

"Savalas." Ia mulai, berharap bisa menarik perhatian pemuda itu. "Gue tahu kita belum baik-baik aja. Gue minta maaf atas semuanya. Aku gak bermaksud bikin lo harus ke psikolog, kok. Maaf banget, sumpah."

Namun, Savalas hanya menoleh sekilas, lalu kembali pada bukunya, sama sekali tidak terpengaruh oleh kata-kata Kevan. Dia mengabaikan tawaran itu, seolah Kevan tidak ada di sampingnya.

Kevan menghela napas, tak menyerah begitu saja. Dengan cepat, ia mengeluarkan tasnya dan mulai merogoh isinya. Dia mengeluarkan beberapa kemasan makanan ringan, snack kesukaan anak-anak di kelas.

"Kalau lo mau, ini ada makanan. Ambil sesuka lo. Gak usah bayar, tenang aja."  Kevan menawarkan sambil tersenyum, meletakkan makanan itu di atas meja antara mereka. "Gue bawa cukup banyak. Gak ada salahnya, kan? Kita bisa mulai dari sini."

Savalas melirik sebentar, tetapi tidak tergoda. Dia hanya mengguncang kepalanya, kembali terbenam dalam buku yang dibacanya. Sementara itu, Kevan tetap duduk di sana, merasa sedikit frustasi, tetapi tetap mencoba.

"Ayolah, Savalas. Makanan ini enak, dan gue juga serius mau memperbaiki semua ini. Coba, deh. Satu aja, ya?" Kevan melanjutkan, berharap bisa meraih sedikit perhatian dari Savalas.

Savalas hanya menghela napas pelan, tidak mengalihkan pandangannya dari bukunya. Dalam pikirannya, semua usaha Kevan terasa sia-sia.

"Dengerin gue, Savalas." Kevan berkata, suaranya sedikit lebih mendesak. "Gue tahu gue salah. Gue gak mau kita terus begini. Coba deh, ambil satu. Enak, kok. Gak gue racun, gak gue apa-apain."

Tetap saja, Savalas tidak merespons. Ia hanya menggerakkan pena di tangannya, mencatat sesuatu dari buku yang dibaca. Dalam benaknya, semua kata-kata Kevan hanyalah riuh rendah yang tidak ingin dia dengar.

Kepingan Memori Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang