Bab 28 : Pertemuan Tak Terduga

11 5 6
                                    

Beberapa saat setelah Shaga pergi meninggalkan rumah entah ke mana, Tamara memutuskan untuk membeli bahan makanan untuk makan siang nanti.

Namun, pertemuannya dengan seseorang membawa ia ke jalan yang rumit. Dari banyaknya pilihan yang ada, semua akan menjerumuskan Tamara ke sebuah masalah yang lebih besar.

Di sinilah ia sekarang. Di rumah Ayahnya. Saat berjalan ke supermarket, ia bertemu dengan ayahnya setelah sekian lama tidak berjumpa. Tepatnya setelah meminta restu kedua kalinya untuk kembali rujuk bersama Devian.

Wanita itu duduk di ruang tamu. Ekor matanya melirik sekitar, terlihat begitu gelisah dan ingin segera pulang ke rumah untuk memasak makan siang.

"Kembali juga kamu akhirnya," ucap Brian saat kembali dari dapur untuk memberikan Tamara teh hangat.

Tamara mengangguk ragu. Ia memainkan jari-jemarinya tanpa sadar, bahkan menggigit bibir bawah dengan cukup kuat.

"Ayah denger dari ibu kamu, cucu-cucu Ayah semuanya ke rumah sakit. Apa itu bener?" tanya Brian kembali mengawali percakapan.

Mendengar suara yang mengintimidasi, Tamara sejenak meneguk ludahnya. Tak lama setelah itu, ia mengangguk dan mencoba untuk bersuara. "Iya."

"Kenapa kamu lalai dengan tugasmu, Mara? Ayah memperbolehkan kamu untuk tidak ikut campur pada caramu mendidik anak, Ayah sudah memberimu kepercayaan. Tapi sepertinya kamu selalu gagal dalam segala hal, ya?"

Sejenak Tamara menundukkan kepalanya, mencoba untuk tidak terlalu terbawa perasaan. Samar-samar Tamara menggeleng, menandakan bahwa ucapan Brian tidak sepenuhnya benar.

"Mara udah ngelarang anak-anak buat pergi lewat dari jam lima sore, Ayah. Tapi saat itu keadaannya sedang genting, Mara juga gak tahu kejadiannya bakal ngebuat anak-anak dilarikan ke rumah sakit," bantah Tamara mencoba untuk menjelaskan sudut pandangnya.

Brian langsung menyela, menyilangkan kakinya dengan tegas. "Itu karena kamu lalai, Mara. Kamu gak perhatiin anak-anakmu dengan baik. Dari dulu kamu selalu begitu."

Mara terdiam, tangannya otomatis mulai memainkan ujung celana panjang yang dia kenakan. Dia berusaha agar gerakannya tidak terlihat jelas, meskipun sekarang tangannya terasa begitu dingin.

Brian selalu tahu cara menekan titik lemah. Jantungnya berdetak lebih cepat, dan setiap kali Brian mengawali percakapan, Tamara merasa ruangan semakin kehabisan udara.

Wanita itu menarik napas pelan, mencoba menenangkan diri. Namun, setiap helaan napas justru terasa semakin berat.

"Mara gak pernah bermaksud buat lalai, Ayah,” ucapnya, suaranya hampir tersangkut. Tangan wanita itu semakin kencang meremas kain celana, berharap bisa menahan guncangan dalam dirinya.

Brian hanya mendesah panjang, seolah jawaban Tamara sudah bisa ditebak. "Selalu ada alasan."

Tamara menggeleng sekali lagi. Kali ini ia benar-benar menunduk, tidak berani menatap mata ayahnya secara langsung. Karena yang ada di pikirannya saat ini hanyalah kabur dan mencoba bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.

"Mara sibuk, Ayah. Mara yang urus semua pekerjaan rumah sendirian, tapi Mara juga tetep selalu berusaha perhatiin mereka. Mara pastiin kebutuhan mereka selalu tercukupi.”

Mendengar itu, Brian mengerutkan kening, matanya menyipit tajam. Tatapannya menusuk Tamara, membuat wanita malang itu tak punya pilihan selain kembali memainkan celana panjangnya dan meneguk ludah.

"Memang Devian ke mana?" Suara Brian terdengar dingin dan menuntut. "Di mana peran dia sebagai suami? Sebagai ayah? Apa dia tidak ada di rumah? Atau kamu membiarkan dia begitu saja untuk lepas tanggung jawab? Kamu pikir semuanya bisa kamu atasi sendirian?"

Kepingan Memori Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang