Bab 11 : Keputusan

9 5 11
                                    

Setelah Tamara dan Devian dipanggil ke sekolah untuk memberikan penjelasan terkait video yang beredar, suasana sempat memanas. Terjadi perselisihan antara orang tua Sagara dan guru-guru di ruang BK.

"Jelaskan maksud video ini. Bagaimana bisa Anda sekalian membiarkan seorang anak di bawah umur melakukan kekerasan seperti itu?" tanya sang wali kelas melipat kedua tangannya di dada.

Sagara yang berada di samping Tamara hanya diam menunduk, meremas celana sekolahnya dengan ekspresi kosong. Ia sudah tahu akan seperti apa endingnya saat di rumah.

"Kami tidak ada di sana saat kejadian itu terjadi." Tamara mulai menjelaskan, wajahnya masih pucat pasi karena terkejut. "Aku dan suamiku tidak ada di Yogyakarta."

Dahi guru yang duduk di depannya langsung berkerut curiga.

"Maksud Anda tidak ada di Yogyakarta? Apa Sagara tidak ada dalam pengawasan kalian?" tanya salah satu guru BK.

Tamara bungkam. Bibir wanita itu tiba-tiba merapat erat. Ia kembali merasakan penyesalan yang sudah lama bersemayam, seperti luka lama yang kembali terbuka. Dia tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab.

Melihat Tamara yang mendadak bungkam, Devian yang duduk di sebelahnya langsung saja mewakili.

"Saat kejadian itu terjadi, kami memang sudah tidak tinggal bersama lagi," ucap Devian dengan nada yang tegas. Pria itu melirik Tamara dan Sagara sesaat, sebelum akhirnya kembali berhadapan dengan guru BK. "Situasinya rumit. Tapi saya yakin, apa pun yang terjadi, itu bukan sepenuhnya kesalahan anak saya."

Guru BK yang mendengar penjelasan itu menatap Devian tajam, mencoba mencari kebenaran di balik kata-katanya. Ruangan itu terasa semakin sunyi, menyisakan ketegangan yang menggantung di udara.

"Maaf jika ini menyinggung. Apakah kalian sempat berpisah sebelum rujuk kembali?"

"Benar," jawab Devian tetap profesional.

Guru yang kebetulan sedang berhadapan dengan Devian memijat pelipisnya yang terasa pusing, sementara yang lainnya saling berbisik dan berdiskusi.

"Baiklah, jadi inti permasalahannya adalah karena perceraian kalian, anak kalian tidak diurus dengan baik. Maka dari itu dia memilih jalan yang salah, begitu?"

".... Tidak bisa dibenarkan juga, tapi simpelnya seperti itu," jawab Devian sekali lagi. Raut wajahnya tampak tenang, meski jantung Devian yang berdetak melebihi batas normal sudah cukup menjelaskan bahwa ia takut akan masa depan Sagara.

Keheningan yang menyelimuti ruangan itu akhirnya pecah saat guru BK yang berhadapan dengan Devian akhirnya berbicara.

"Setelah mempertimbangkan semua yang telah disampaikan, kami memutuskan bahwa Sagara harus dikeluarkan dari sekolah. Tindakan pembunuhan ini terlalu serius, dan kami tidak bisa mengambil risiko mencoreng nama baik sekolah jika Sagara masih berada di sekolah ini."

Mendengar keputusan itu, mereka bertiga serentak menoleh ke arah guru BK tersebut. Mata mereka terbuka lebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Keputusan itu jatuh seperti palu yang menghantam keras, menambah beban yang sudah berat di pundak mereka.

Tamara mencoba mengatakan sesuatu. Namun, kata-katanya terhenti di tenggorokan. Sementara Devian menatap guru BK itu dengan sorot mata tajam, mencoba mencari cara agar Sagara masih tetap bisa bersekolah seperti anak pada umumnya.

"Apakah tidak ada alternatif lain?" tanya Devian dengan alis yang berkerut. 

"Tidak ada. Kami tidak mau menerima murid yang berstatus sebagai mantan pembunuh, kalian bisa mengirimkan Sagara ke pesantren atau homeschooling." Guru tersebut menolak dengan tegas, membuat ekspresi wajah Sagara semakin kosong.

Kepingan Memori Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang