Bab 2 : Omelan Tamara

6 5 4
                                    

Pagi itu, sinar matahari mulai mengintip dari balik jendela, menerangi rumah keluarga Tamara dengan cahaya lembut. Di lantai atas, Sagara, Shaga, dan Savalas masih terlelap, tenggelam dalam mimpi masing-masing. Sementara itu, di lantai bawah Tamara sudah sibuk dengan rutinitas paginya, membawa tumpukan pakaian yang harus dicuci.

Tamara berdiri di bawah tangga, satu tangan memegang keranjang pakaian, sementara tangan lainnya bersandar di pinggang. Matanya tajam, menatap ke arah tangga yang menuju kamar anak-anaknya.

"Sagara, Shaga, Savalas! Bangun, Nak! Udah pagi, jangan jadi bujang pemalas. Yuk, bangun. Udah jam delapan pagi, loh, ini. Kesiangan kalian."

Tidak ada suara dari atas, hanya keheningan yang menjawab teriakannya. Tamara mendesah, lalu menaikkan volume suaranya sedikit lebih tinggi.

"Cepetan bangun, hei. Cuci muka terus turun buat sarapan! Mama udah bikin bubur ayam, kalian gak mau bubur dingin kan?"

Tamara mulai berjalan ke kamar mandi sambil terus melanjutkan omelannya. "Kalau sampai Mama harus naik ke atas, awas aja! Malu sama ayam di luar, mereka udah berkokok dari tadi!"

Mendengar omelan Tamara, di kamar atas, Sagara menggerakkan tangannya, berusaha meraih selimut yang tersingkap. Shaga menggeliat malas, sementara Savalas hanya menutupi wajahnya dengan bantal, berusaha mengabaikan panggilan ibunya.

"Iya, sebentar lagi, Ma," sahut Sagara setengah mengigau.

Shaga menjawab pelan seraya terus memeluk guling. "Lima menit lagi, Mah..."

Tamara yang mendengar gumaman dari atas tangga, berhenti sejenak di depan kamar mandi, meletakkan baju yang dibawanya dan menghela napas panjang.

"Kalau lima menit lagi, nanti Mama nggak masak lagi buat makan siang! Sagara, Shaga, Savalas! Sekarang juga bangun, cuci muka, dan turun! Mama gak mau tahu!"

Tak ada lagi gumaman dari atas, hanya suara langkah kaki berat yang mulai terdengar dari tangga, menandakan ketiga anak bujang itu akhirnya menyerah pada panggilan tegasnya.

Tamara tersenyum kecil sambil melanjutkan pekerjaannya di kamar mandi, sesekali memantau kegiatan mereka bertiga apakah benar-benar memakannya atau tidak.

Setelah semua pakaian kotor dimasukkan ke dalam mesin cuci, Tamara berinisiatif untuk kembali ke dapur dan memakai celemek.

"Mah, kok Mamah bisa biasa aja sih ngerjain pekerjaan rumah? Padahal Mamah yang paling telat tidurnya, loh, daripada kita," keluh Shaga mencoba melahap buburnya dengan mata yang berat.

Mendengar hal itu, Tamara tertawa pelan. Ia berjalan ke arah wastafel dan mulai mencuci piring kotor yang menumpuk. "Itulah keahlian perempuan."

"Ngantuk, Mah. Sumpah, gak bisa masuk makanan." Shaga kembali merengek, mencoba mengedipkan mata berkali-kali untuk mengusir kantuk. Matanya ingin sekali terpejam dan kembali menarik selimut. Hari libur sekolah rasanya tidak afdol jika tidak tidur seharian.

Sagara yang sejak tadi menikmati sarapan, menghentikan gerakan sendoknya dan menatap Shaga dengan ekspresi kesal.

"Udah, anjir. Makan aja apa yang ada! Udah syukur Mama bikin sarapan. Gak usah ngeluh terus. Sarapan tuh makan, bukan buat ngomel-ngomel."

"Iya, iya, cuman ngantuk doang aku tuh," gumam Shaga.

Shaga akhirnya mulai makan dengan mulutnya masih menggerutu pelan, meski kata-kata yang keluar tak jelas terdengar. Sementara itu, Tamara yang berdiri di dekat dapur memperhatikan ketiga anaknya dengan ekspresi prihatin.

Ia menghela napas panjang, mencoba memikirkan cara agar anak-anaknya tidak lagi merasa terlalu lelah di pagi hari.

Di dalam hatinya, Tamara menyadari bahwa selama ini pekerjaan rumah selalu dia kerjakan sendiri, tanpa banyak melibatkan ketiga anaknya. Mungkin, jika mereka lebih terlibat dalam pekerjaan rumah, mereka akan belajar bangun lebih pagi dan tidak merasa terlalu malas.

Kepingan Memori Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang