Bab 9 : Momen Berharga

6 5 5
                                    

Pagi itu, Devian terbangun dengan mata yang masih sedikit berat. Ia meraba-raba sisi tempat tidur, berharap menemukan kehangatan Tamara di sebelahnya. Namun, ia hanya menemukan selembar selimut yang dingin.

"Mara," gumam Devian setengah sadar.

Ia mengerutkan alis, merasa ada yang aneh dengan keheningan pagi itu. Tak lama kemudian, suara pintu kamar yang terbuka secara perlahan menarik perhatiannya.

"Kenapa gak bangunin aku?" tanya Devian beranjak dari tempat tidur dan menghampiri Tamara.

Tamara hanya tersenyum dan tertawa pelan mendengar pertanyaan tersebut.

"Kamu kan tidur nyenyak banget. Aku gak tega buat bangunin kamu," jawabnya sambil menggeser ember dari satu tangan ke tangan yang lain, bersiap untuk membawa pakaian itu keluar.

Tatapan Devian terpaku pada ember berisi baju yang baru saja diambil dari mesin cuci. Pria itu sedikit membungkukkan badan, hendak meraih ember tersebut dari tangan Tamara.

"Heh, udah gak usah. Aku udah biasa, kok. Mending kamu mandi, deh, habis itu bangunin anak-anak. Aku udah mandi duluan tadi subuh," elak Tamara menolak dengan halus.

Mendengar hal itu, Devian menggelengkan kepala. "Iya, deh, iya. Kamu mah emang strong woman. Ya udah, aku mandi dulu, ya. Kalau butuh sesuatu panggil aku, loh."

"Iya, iya. Udah, sana. Habis mandi tolong bangunin anak-anak, ya. Aku masih harus masak habis ini," ucap Tamara sebelum pergi menuju halaman belakang rumah.

Devian tanpa banyak bicara menuruti apa yang Tamara suruh. Pria itu berjalan menuju arah kamar mandi, membersihkan diri dan mengganti pakaian dengan yang baru.

Setelah urusan di kamar mandi selesai dan semuanya sudah rapi, Devian menatap pantulan dirinya di cermin. Ia sedikit bergaya layaknya model, tersenyum mantap seraya mengangguk dengan penuh percaya diri. "Aku gak kalah muda dari Mara. Tampangku masih kayak usia 30 tahunan lah, ya. Masih bisa disebut muda."

Setelah puas melihat replika diri di depan cermin, Devian beranjak ke lantai atas untuk membangunkan si kembar.

Pintu yang pertama kali Devian ketuk adalah pintu kamar Savalas, mengingat jika sejak dulu ia hampir tidak pernah memberikan kasih sayang selama Savalas tinggal bersamanya.

Hanya terdengar gumaman tidak jelas dari arah kamar, diiringi dengan suara langkah kaki yang semakin mendekat.

"Kenapa, Ma?" tanya Savalas masih setengah sadar. Pemuda itu tidak mengenakan kacamata, membuat ia harus mendongak dan menyipitkan mata.

"Hei, bangun. Ini Ayah, loh. Mama kamu lagi di bawah, lagi masak sarapan buat kalian," tegur Devian terkekeh pelan melihat reaksi Savalas yang masih mengantuk berat.

Dahi Savalas berkerut. Dengan tatapan mengantuk yang masih terlihat jelas, pemuda itu bergumam pelan seraya menggaruk pipinya dan berjalan kembali ke dalam kamar untuk mengambil kacamata.

Setelah kacamatanya terpasang, ekspresi Savalas berubah pesat. Ia berjalan menghampiri Devian, melihat pria itu dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Kapan Ayah pulang?" tanya Savalas menyipitkan matanya.

"Loh, dari kemarin. Kamu aja yang terlalu nyenyak tidurnya sampe gak nyadar kalau Ayah pulang," jawab Devian seraya terkekeh. Ia mengacak-acak rambut Savalas, merasa gemas dengan putra bungsunya itu. "Udah, ah. Ke kamar mandi dulu, gih. Habis itu turun buat sarapan."

Sebelum Savalas sempat menjawab, terdengar suara pintu kamar yang terbuka dengan keras.

Dari arah kamar Shaga, pintu itu terbanting lebar, memperlihatkan Shaga yang menatapnya tak percaya dengan tangan yang memeluk erat boneka paus yang sudah menjadi teman tidur sejak lama.

Kepingan Memori Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang