Bab 23 : Hilang Arah

7 5 4
                                    

Pagi itu, jam baru menunjukkan pukul tujuh pagi. Namun, langit sudah cukup terang. Shaga duduk di kursi roda dengan infusan menggantung di sebelahnya, sementara Devian mendorong kursi itu perlahan menyusuri koridor rumah sakit.

Mereka hendak menuju ruangan di mana Savalas dirawat. Udara dingin rumah sakit membuat suasana semakin hening, hanya ada suara langkah sepatu Devian yang beradu dengan lantai marmer.

"Sebentar lagi kita sampai," ucap Devian dengan suara pelan, mungkin untuk meredakan kegusaran yang Shaga rasakan sejak tadi pagi.

Shaga tidak merespons, matanya tertuju lurus ke depan. Sesampainya di depan pintu kamar Savalas, Devian membuka pintu perlahan, membiarkan Shaga masuk lebih dulu dengan kursi rodanya.

Saat Shaga masuk, matanya langsung tertuju pada Savalas yang terbaring di ranjang, masih tertidur lelap. Pemuda itu merasakan dadanya sesak, perasaan campur aduk antara kesedihan dan kemarahan mulai mendidih di dalam dirinya.

"Sialan," gumam Shaga lirih seraya menundukkan kepala.

Dia menggerakkan kursi rodanya lebih dekat ke ranjang Savalas, tangan kirinya menarik tiang infusan yang terhubung padanya, lalu dengan lembut menggenggam tangan Savalas yang terasa dingin.

"Savalas," panggil Shaga. Suaranya serak, hampir tidak terdengar.

Devian berdiri di dekat pintu, mengawasi dari kejauhan. Ia bisa merasakan ketegangan di udara, tetapi memilih untuk diam dan membiarkan kedua anaknya berbagi momen mereka.

Shaga meremas tangan Savalas sedikit lebih kuat, berharap ada sedikit respons dari adiknya. Namun, Savalas tetap tertidur, napasnya yang teratur menjadi satu-satunya tanda bahwa ia masih bertahan.

"Bangun, Savalas. Aku di sini, kamu gak sendirian. Maaf aku gak bisa ngelindungin kamu waktu itu." Shaga berbisik, menahan agar suaranya tidak pecah oleh emosi.

Devian melangkah mendekat, meletakkan tangannya di bahu Shaga dengan lembut.

"Dia bakal baik-baik aja," ucap Devian pelan, meskipun di dalam hatinya, ia juga sedang berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Shaga tidak menjawab, matanya tetap terpaku pada wajah Savalas yang tenang dalam tidur.

"Ayah," panggil Shaga dengan suara yang pelan. "Savalas tidur jam berapa, sih? Kenapa sampai sekarang dia belum bangun?"

Devian menghela napas panjang sebelum menjawab. Ia menundukkan kepala sejenak, seperti menimbang-nimbang kata-kata yang akan keluar dari mulutnya.

"Savalas baru bisa tidur jam empat subuh tadi," jawab Devian dengan nada yang tenang, meskipun jelas terlihat bahwa ia menyimpan kecemasan. "Dia terus mimpi buruk sepanjang malam. Setiap kali hampir tertidur, dia selalu kebangun lagi, teriak, atau gelisah. Akhirnya dokter sama perawat terpaksa masukin obat tidur ke cairan infusnya."

Shaga menatap Devian dengan ekspresi tak percaya, hatinya semakin terasa berat.

"Mimpi buruk?" ulangnya, seolah tak bisa menerima kenyataan itu. Ia melihat wajah Savalas yang tampak damai dalam tidurnya sekarang, dan sulit membayangkan betapa gelisah adiknya semalam.

Devian mengangguk membenarkan. "Iya. Baru setengah lima subuh napasnya teratur, dan dia bener-bener bisa tidur. Dokternya bilang, itu dampak dari trauma yang dia alami."

Shaga mengerutkan kening, matanya kembali tertuju ke Savalas yang tampak tenang dalam tidurnya. Namun, bayangan Savalas yang terjaga sepanjang malam dengan mimpi buruk selalu menghantui Shaga. Ia tidak bisa membayangkan apa yang harus dilalui Savalas setiap kali menutup mata.

Pemuda itu menggertakkan giginya, menahan amarah yang merayap ke dalam dada. Bukan pada Devian, bukan pada Savalas, tapi pada situasi ini, pada semua hal yang telah menjerumuskan mereka ke dalam keadaan seperti ini. Dia menunduk lagi, mempererat genggaman tangannya pada Savalas.

Kepingan Memori Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang