Bab 27 : Puncak Kemarahan

12 5 6
                                    

Keesokan harinya, Shaga sudah siap-siap untuk pergi menuju suatu tempat. Lagi pula selalu berada di rumah hanya akan membuat dirinya stres berkepanjangan.

Pemuda itu menuruni anak tangga, hendak mengambil sandal. Namun, saat melewati ruang keluarga, seseorang menahan tangan Shaga. Hal itu membuat Shaga menoleh cepat dan mencoba untuk menepisnya, walaupun ia tahu itu adalah usaha yang sia-sia.

"Mau ke mana kamu?" tanya Tamara. Nada wanita itu terdengar lebih tegas dari biasanya.

"Ya Shaga mau main, lah. Kenapa emang? Gak boleh?" Alih-alih menjawab, Shaga melontarkan pertanyaan dengan raut wajah yang seolah menantang ibunya.

Tamara menggeleng, masih belum mau melepaskan tangan Shaga. Tatapan wanita itu kian tajam seiring Shaga menunjukkan wajah menantang.

"Ke mana?" tanya wanita itu sekali lagi.

"Jalan-jalan keluar. Udah, lepasin tangan Shaga, Mah!" Shaga memberontak, mencoba untuk melepaskan genggaman tangan Tamara yang menahan kebebasannya.

Tamara menghela napas panjang, lantas melepaskan tangannya dari Shaga. Wanita itu lantas melemparkan tatapan tegas. "Kan bisa bilang ke Mama, gak usah langsung pergi aja. Minimal Sagara tahu, dia kakak kamu."

Mendengar namanya disebut, Sagara yang sedang memainkan ponsel di sofa panjang bersama Savalas dengan segera menghampiri mereka berdua, di susul oleh Savalas di belakangnya.

"Kenapa, Ma?" tanya Sagara. Atensinya mengarah ke Shaga yang kali ini sedang memberikan tatapan kesal pada Tamara.

"Itu, adik kamu. Mau main gak bilang-bilang dulu ke Mama, atau minimal ke kamu lah," jawab Tamara masih berusaha untuk menahan emosi.

Mendengar hal itu, Sagara membuang napas berat. Ia juga heran, bagaimana menyikapi Shaga yang tiba-tiba berubah. Terkadang ia bertanya-tanya, apa yang terjadi pada Shaga di saat dirinya sedang tidak sadarkan diri.

"Lo kenapa, sih? Akhir-akhir ini lo sering ngelawan Mama. Bilang ke gue, mau pergi ke mana lo? Sama siapa?" tanya Sagara memberikan tatapan tajam.

Shaga menghela napas panjang, mencoba untuk menjawab pertanyaan Sagara dengan tenang. "Sendirian, ke mana aja asal sendirian. Kenapa, sih? Gak Mamah, gak Abang, selalu aja nanyain apa pun yang pengen Shaga lakuin."

Mulut Sagara terbuka, hendak membentak Shaga yang sudah mulai berani bersikap tidak sopan. Namun, Tamara sudah mendahuluinya.

"Ya wajar Mama nanya, itu artinya Mama masih khawatir dan peduli sama keadaan kamu. Lingkungan di luar rumah gak seaman yang kamu duga, Shaga!" tegas Tamara. Suaranya semakin terdengar tegas, membuat rasa kesal di hati Shaga bertambah.

Di sisi lain, Sagara menganggukkan kepala. Ia setuju dengan ucapan Tamara. Bahkan tragedi saat Savalas dan dirinya diculik oleh suruhan Anna hingga kejadian beberapa minggu terakhir, seharusnya sudah cukup membuktikan bahwa dunia luar itu kejam.

"Mama bener, kok. Lo mau ke mana? Gue ikut," ucap Sagara menimpali. Pemuda itu tidak bisa membiarkan Shaga pergi sendirian, ia mencemaskan banyak hal.

Shaga memutarkan kedua bola matanya menanggapi ucapan Sagara. Ia dengan tegas menolak. "Enggak, Bang. Shaga mau sendirian."

"Kalau gitu bilang tujuannya! Kamu gak akan Mama izinin kalau ngejelasin suatu tempat yang pengen kamu kunjungi aja gak detail!" Pada akhirnya, Tamara memberikan sebuah ancaman dan meninggikan suara di hadapan Shaga.

Mendengar bentakan itu, justru malah membuat Shaga semakin tidak bisa menahan kesal yang sejak dulu ia pendam dari ibunya. Dengan tatapan tajam penuh kemarahan, Shaga ikut meninggikan suara dan mengutarakan kekesalannya.

Kepingan Memori Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang