Bab 17 : Rencana Selanjutnya

11 5 10
                                    

Saat bel istirahat berbunyi, Shaga segera bangkit dari tempat duduk. Pikiran tentang buku tugas yang hilang sejak pagi terus mengganggunya. Tanpa membuang waktu, dia langsung melangkah ke arah Kevan yang sedang meregangkan otot.

Kevan menyadari kehadiran Shaga dan Savalas yang mendekat dengan langkah cepat dan tatapan penuh tekad. Shaga berhenti tepat di depan Kevan, lantas menatapnya tajam.

"Kevan, kamu, kan, yang nyembunyiin buku tugas aku sama Savalas?" tanya Shaga.

Kevan tidak menjawab seketika. Dia menyeringai, ekspresi wajahnya menunjukkan kepuasan atas emosi Shaga. Perlahan, dia melangkah mendekat, sementara mereka berdua secara refleks mundur sedikit untuk menjaga jarak.

"Kalau emang gue yang nyembunyiin, kalian mau apa? Marah?" Kevan menyeringai lebih lebar, menantang Shaga dengan nada santai.

Shaga tidak mundur lagi. Dia mengangkat dagunya sedikit, tatapannya tidak berpaling dari Kevan. Ia menjawab dengan nada yang lebih keras dan lantang.

"Kalau emang kamu yang lakuin, itu cara yang cupu, Kevan. Cuman orang yang gak punya keberanian aja yang berani main di belakang kayak gitu."

Ucapan Shaga itu membuat suasana di sekitar mereka tegang. Kevan terdiam sejenak, senyum di bibir pemuda itu perlahan memudar, meski matanya tetap menatap Shaga dengan penuh ketidaksenangan.

"Cupu, ya?" Kevan mendekat sedikit lagi, seolah menantang Shaga untuk berkata lebih jauh.

"Banget," jawab Shaga tanpa ragu, tetap menatap mata Kevan. "Kalau kamu punya masalah sama aku, hadapin langsung. Jangan nyembunyiin buku tugas kayak pengecut. Gak berani apa gimana? Atau emang kamu gak suka liat replika Bang Gara di diri aku sama Savalas?"

Kevan tertawa kecil, meskipun kali ini tidak ada kebahagiaan dalam tawa itu. "Berani banget lo ngomong kayak gitu. Punya nyali berapa?"

"Berani, lah. Kan aku ngomong fakta, makanya kamu kepanasan kayak gini," balas Shaga menantang Kevan.

Tatapan Kevan tidak pernah lepas dari Shaga, sebelum akhirnya perubahan ekspresi Savalas membuat perhatiannya teralihkan.

"Kenapa ekspresi lo kayak gitu, hm? Mau marah? Mau nangis? Kasian banget. Capek, ya, udah ngerjain dari semalem tapi bukunya disembunyiin? Mana tangisan anak ayah, hah? Anak bunda mau denger, nih," ucap Kevan dengan nada mengejek saat melihat raut wajah Savalas.

Savalas mengeratkan kepalan tangan. Ia tidak bicara, hanya menatap Kevan tajam sebelum akhirnya meninggalkan kelas seorang diri.

Melihat Savalas yang marah hingga memilih umtuk keluar kelas, Shaga hendak mengikutinya.

"Savalas, tunggu!" Shaga kini beralih menatap Kevan sebelum menyusul adiknya.

"Awas aja kamu, Kevan. Aku mau liat, sampai mana dendam kamu bisa menyesatkan hati nurani. Inget, aku sama Savalas beda dengan Bang Gara."

"Mentang-mentang karena aku sama Savalas adik dari Sagara, bukan aku sama Savalas punya perilaku yang sama kayak dia. Gak semua orang bisa kamu pukul rata, tapi otak dongo kamu gak berfungsi."

Setelah mengatakan itu, Shaga menyusul untuk mencari Savalas di tengah keramaian. Pemuda itu takut Savalas akan melakukan hal yang tidak diinginkan, mengingat Savalas masih kesulitan untuk mengelola emosi.

"Haduh, kamu di mana, sih, Savalas? Jangan bikin aku khawatir sama tindakan kamu, dong," gumam Shaga.

"Apa jangan-jangan di rooftop?"

Pemuda itu mencoba untuk mengingat kata kunci yang selalu Savalas ucapkan pada mereka berdua saat di sekolah.

"Gue benci keramaian, dan gue gak suka berteman."

Kepingan Memori Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang