Bab 1 : Insomnia

19 6 11
                                    

Malam itu, kamar Shaga tampak tenang dan redup, hanya ada suara lembut jam dinding yang terus berdetak. Shaga sudah mencoba berbagai posisi tidur—mulai dari tidur miring ke kanan, berbalik ke kiri, hingga akhirnya berbaring telentang. Namun, matanya tetap terbuka, menatap kosong ke langit-langit.

Sudah lebih dari satu jam, dan kantuk yang diharapkan tidak juga datang. Ia merasa gelisah. Tubuhnya sudah terasa lelah, tapi pikirannya masih terus berputar. Shaga mengubah posisinya sekali lagi, mencoba tidur dengan memeluk bantal, namun tetap saja, matanya tetap terbuka.

Akhirnya kesabaran Shaga habis. Dengan gerakan kasar, dia menyingkirkan selimutnya, membiarkan kain itu jatuh berantakan di ujung ranjang. Ia menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong, lalu menguap besar untuk kesekian kalinya.

"Kenapa sih nggak bisa tidur juga?" gumamnya dengan suara yang terdengar kesal.

Setelah beberapa menit terdiam dan berusaha menenangkan diri, Shaga menyerah. Dia bangkit dari tempat tidurnya, lalu melangkah keluar kamar. Kakinya bergerak pelan menyusuri lorong rumah yang sepi, menuju ruang keluarga. Dari kejauhan, ia bisa mendengar suara televisi yang samar—Ibunya pasti masih di sana.

Begitu sampai di ruang keluarga, Shaga melihat Tamara sedang duduk di sofa, matanya terpaku pada layar televisi. Tanpa ragu, Shaga mendekat, lalu menjatuhkan diri di sofa di samping Tamara.

"Mah..." Shaga merengek, menepuk pundak Tamara.

Tamara melirik ke arah Shaga, sedikit terkejut melihat putranya yang tampak putus asa.

"Ada apa, Shaga? Kok belum tidur?" tanya Tamara, meski matanya tetap fokus pada layar.

"Aku nggak bisa tidur," jawab Shaga, suaranya terdengar lelah. "Laper ... Bikinin aku makanan, dong, Mah."

Tamara terkekeh pelan, mematikan televisi dan menoleh sepenuhnya ke arah Shaga.

"Laper, ya? Kamu ini, udah jam segini masih aja minta makanan," katanya sambil mengusap kepala Shaga. "Yuk, ke dapur. Mama bikinin sesuatu."

Shaga hanya mengangguk kecil, mengikuti Tamara yang sudah berdiri dan berjalan menuju dapur. Meskipun sedikit kesal karena tidak bisa tidur, rasa lapar yang ia rasakan mulai teralihkan oleh harapan akan makanan yang akan dibuat Tamara untuknya.

Ia duduk di ruang makan, menunggu Tamara yang tengah sibuk di dapur. Sesekali ia melirik jam dinding, mengharapkan hidangan favoritnya segera siap. Namun, sebuah pemandangan yang tidak biasa menarik perhatian.

Dari arah tangga, Sagara dan Savalas muncul bersamaan. Dua saudara kembarnya itu jarang terlihat akrab, dan melihat mereka turun bersama-sama di malam hari tentu saja membuat Shaga mengernyit heran. 

Tumben akrab. Tapi bagus, lah. 

Tamara yang mendengar suara langkah kaki, melirik dari balik dapur dengan senyum hangat di wajahnya. "Tumben kalian belum tidur juga. Apa perut kalian keroncongan kayak Shaga?"

"Gara juga laper, Ma. Gak tahu Savalas, dia mah ngikut mulu kerjaannya," sahut Sagara menyindir Savalas yang sedang berkutat dengan ponselnya.

Hal itu membuat Savalas menoleh seraya memicingkan mata, bergumam tidak jelas untuk melampiaskan rasa kesal.

Mendengar pertengkaran kecil mereka, Tamara tertawa pelan seraya mengusap tangannya yang basah dengan handuk. "Kalian bertiga bener-bener anak malam, ya. Oke, tunggu sebentar di meja makan. Masakan Mama sebentar lagi siap."

Sagara tersenyum tipis menanggapinya, sementara Shaga dan Savalas memilih untuk diam, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

"Shaga, gimana ingatan lo? Udah ada kilas balik yang dateng?" tanya Sagara menaruh ponselnya di atas meja.

Kepingan Memori Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang