Enam: Tama's Side

6 1 0
                                    

“Dibilangin jangan sering makan pedes-pedes juga,” aku melenggang masuk ke dalam kamar Raya. Tenang, pintunya terbuka lebar. Di depan kamar Raya ada ayah dan juga ibunya—tengah asik berbincang di depan televisi.

Raya hanya terdiam di atas kasurnya. Tubuhnya lemas dan pucat; anak itu tumbang setelah seminggu terakhir sering makan makanan pedas yang pedasnya tidak manusiawi. Terakhir, anak itu mengajakku beli bakso di tempat langganan kami saat SMA—gilanya, ia menuang enam sendok penuh sambal. Padahal, ia sendiri tahu kalau dirinya tidak bisa makan makanan terlalu pedas—atau akan berakhir tumbang karena maagnya kambuh.

“Diem ah”

Aku terduduk di samping kasurnya, meletakkan sebungkus wedang ronde yang masih panas. “Tuh, ronde. Tadi lewat pas mau ke sini.”

“Ya,” gadis itu menatap ke arah lain, “lo nggak ikut kelas malem?”

Aku menggeleng, “Dosennya minta pindah hari. Nggak cek grup lo?”

“Mana sempet, gue sanggup melek aja udah sujud syukur”

Aku terkekeh, “Makan tuh kambuh, besok-besok ulangin sana makan pedes.”

Meskipun sedang sakit, tenaga Raya tak berkurang sama sekali. Ia mencubit lenganku—terasa sakit karena sedikit dipelintir.

“Sakit anjir!”

“Pulang aja kalo cuma mau ngomel”

Aku mengusap bekas cubitan yang dilakukan oleh Raya. “Iya deh gue diem,”

Kami terdiam sejenak. Raya sibuk memejamkan matanya, sedangkan aku menatap wajah gadis itu.

Melihatnya hanya mampu berbaring di atas kasur sedikit membuatku merasa sedih. Entahlah, apa mungkin karena tidak punya teman untuk diajak meributkan hal yang itu-itu saja? Bisa jadi.

Napas gadis itu mulai teratur. Sepertinya Raya tertidur. Sudut bibirku terangkat, menciptakan senyum tipis nyaris tak terlihat.

Aku mengusap lembut rambutnya, “Cepet sembuh, Ray.”

Wajar kan', jika aku tidak ingin teman paling dekatku sakit seperti ini?

All Things About Us | Jay ParkWhere stories live. Discover now