Sepuluh: Tama's Side

7 1 0
                                    

"Jangan pacaran sama siapa pun, gue mohon. Gue sayang sama lo."

Aku melihat sorot matanya tampak terkejut dengan apa yang barusan aku katakan. Bola matanya melebar, lalu menatap lurus dengan dalam pada obsidian mataku. 

Jujur, saat mengatakannya, jantungku berdegup sangat kencang. Seluruh tubuhku memanas, gemetar karena aliran darahku mengalir sangat kencang. Aku tak bisa menggerakkan tubuhku, terdiam kaku, termasuk jari tangan yang aku selipkan di tangan Raya. 

Tama, jangan goblok!

Sontak, aku melepas tautan tangan kami, lalu mengusak puncak kepala Raya, tertawa, sambil berkata bahwa tadi itu hanya gurauan belaka. 

"Keren nggak acting gue?"

Raya, sungguh, sebenarnya aku ingin mengungkapkan perasaan ini padamu. Aku ingin memelukmu saat itu, lalu berbisik lembut bahwa aku benar-benar menyayangimu, Ray. Aku ingin berkata bahwa rasa sayang ini bukan lagi rasa sayang kepada teman, melainkan perasaan sejati dariku sebagaimana laki-laki kepada perempuan. 

Aku tak ingin merusak pertemanan ini, tetapi sungguh, rasa ini menyikasku. 

Aku tak ingin melihat Raya akhirnya bersanding dengan orang lain; bukanlah aku. 

Aku tak ingin berakhir tenggelam oleh perasaan menyesal karena membiarkanmu tak tahu perasaanku sesungguhnya. 

Semesta, tak bolehkah aku memilikinya, tetapi bukan sebagai seorang teman?

"Kampret," Raya menepuk lengan atasku, "emang mau lo praktekkin ke siapa?"

Ray, sebenarnya...semua kata yang kuucapkan seutuhnya aku tujukkan untukmu. Aku ingin dengan gamblang bicara bahwa aku sungguh tulus menyayangimu; aku mencintaimu. 

Namun, pada akhirnya, kata yang aku ucapkan di hati berlainan dengan yang keluar dari mulut.

"Gue cuma niruin adegan film yang lagi booming itu loh, yang kemaren kita tonton. Ternyata keren juga ya gue?"

Payah. Aku benar-benar seorang pengecut. 

Kami terdiam. Suara embusan angin dan deburan ombak mengisi sunyi di antara kami. 

"Emang pantesnya lo ikut teater aja, Tam. Acting lo luar biasa."

Meski Raya mengucapkannya dengan diselingi tawa, entah mengapa...aku merasa bahwa itu bukanlah sebuah pujian. 

"Haha, daftar kali ya"

"Udah semester tujuh, bego."

"Takut jadi dewasa gue, haha."

"Eh sumpah sama,"

Percakapan kami berlanjut cukup lama, sampai kira-kira satu jam berlalu. Tak ingin Raya sakit karena terlalu lama terkena angin laut, akhirnya kami pun pulang—dengan aku yang dipenuhi perasaan sesal. 


All Things About Us | Jay ParkWhere stories live. Discover now