"Cepetan dek, Tama udah nangkring tuh di depan rumah."
Aku merapikan rambut di sekitar dahi, kemudian menyemprot beberapa semprot parfum di beberapa titik tubuh.
"Cielah wangi bener lo, mentang-mentang udah jadia—"
"ABANG IH DIEM NGGAK!?" aku ancang-ancang melempar tempat pensil yang ada di dekatku. Ia berlari menjauh setelah tertawa puas di ambang pintu kamarku.
Aku langsung bergegas menyambar tas, berjalan keluar kamar menuju teras rumah; menghampiri Tama.
"Buset, lama amat neng. Kita cuma mau ke perpustakaan kota btw,"
Aku yang sedang memakai sepatu itu pun memutar bola mata malas. "Tai lo, nggak usah ikut-ikutan ngerusak mood gue ya."
Tama tersenyum, "Siap pacar"
Pipiku langsung memanas. Tidak biasa dengan perubahan status hubungan kami sekarang.
"Alay lo"
"Dih, alay-alay gini juga pacar lo"
Aku langsung naik di jok motor Tama, "Terpaksa"
"Serius?"
"Liat muka gue coba di spion"
Aku menunjukkan wajah malas. Tama langsung tertawa, "Ray, sumpah deh"
Kutepuk pundaknya, "Ih kenapa ketawa!?"
Tama geleng-geleng kepala, lalu mengambil helm yang dia letakkan di spion sebelah kiri. Ia turun sebentar dari motor, memakaikanku helm.
"Pake dulu ya tuan putri, biar aman selamat sentosa sampe tempat"
"Dih, biasanya juga lo nyuruh gue pake sendiri? Effort bener bang sampe turun motor"
Tama menatapku dengan tatapan berbeda. Senyumnya simpul, tetapi menyiratkan perasaan yang dalam.
"Soalnya nunggu lo jadi pacar gue butuh bertahun-tahun, Ray."
Aku mencebikkan bibir, "Nggak cocok jadi romantis, sumpah deh"
"Iyadeh, nurut pacarku yang cantik aja"
"Tamaaaaa ih!"
Tama terkekeh, lalu kembali duduk di motor. Ia bersiap-siap menghidupkan motor, mengarahkan motor keluar dari halaman rumahku.
YOU ARE READING
All Things About Us | Jay Park
Fiksi PenggemarSeharusnya, ia tak mengabaikan perkataan sahabatnya waktu itu; "Jangan pernah suka sama temen lo sendiri. Repot, Ray. Akhirnya lo harus pilih antara berkorban perasaan atau pertemanan."