Delapan Belas: Tama's Side

5 0 0
                                    

kinda 18+, please be wise guys.

Jari-jariku bergerak di atas papan ketik laptop. Menyusun kata demi kata ke dalam skripsiku. Aku mencoba untuk fokus pada apa yang sedang aku kerjakan, tapi sayangnya, semua itu sia-sia.

Raya berhasil mengambil alih semua isi kepalaku sekarang.

Seminggu sejak kejadian di rumah dia saat aku membawakan bubur ketan itu, secara perlahan jarak di antara kami mulai terasa. Aku tidak menyengajakan diri menjauh darinya, tetapi rasanya Raya lah yang menjauh dariku. Setiap kami berpapasan di kampus, Raya akan membuang muka, lalu berjalan seolah tak melihatku.

Jujur, aku menyesal. Mengapa hari itu aku terbawa suasana?

Tak seharusnya aku menghancurkan pertemanan kami dengan cara yang bodoh seperti itu.

“Bego banget sih lo, Tam!” makiku pada diriku sendiri.

Aku menutup laptop, lalu menelungkupkan kepala di atas meja. Sungguh, segalanya terasa berjalan rumit.

Aku ingin meluruskan segalanya; Namun, bagaimana caranya?

Aku ingin kita kembali seperti awal, tak apa meski baginya aku hanya teman. Aku tidak sanggup berjauhan dengan Raya.

Akhirnya, aku meraih jaket denim yang tersampir di belakang pintu, meraih kunci motor, dan bergegas ke rumah Anisraya Putri.

•••

“Ray, please...buka pintu...”

Sudah setengah jam aku menunggu Raya di depan pintu kamarnya. Kata Ayah Ibunya, seminggu ini Raya sibuk mengurung diri di kamar. Kebetulan, gadis itu tidak ada kelas di kampus sehingga dengan leluasa ia menghabiskan waktu di kamarnya.

“Raya, let me tell you about something. Give me a chance to say all word that I can't say it past.” Aku mencoba mengetuk lagi, sampai akhirnya gadis itu muncul dengan wajahnya yang kusut. Tampah air mata baru saja membasahi pipi, tetapi telah diseka olehnya.

“Mau lo apasih Tam? Gue lagi pusing skripsian. Kalo cuma mau rusuh, pulang aja.”

Raya hampir menutup pintunya, tetapi kutahan.

“Dengerin gue sebentar, tolong.”

Akhirnya, Raya membawaku menuju halaman belakang rumahnya. Di sana, kamu duduk di teras belakang rumah, di atas bangku besi yang sering kami duduki dulu saat sedang bermain di rumahnya.

Malam hari ini langit cukup terang karena Bulan. Kami terdiam sejenak, membiarkan suara jangkrik mendominasi suasana di antara kita. Tak lama, aku membuka suara.

Sorry buat yang kemarin.”

“Nggak pa-pa, gue tau lo nggak sengaja kan?” sampai di sini, suara Raya sudah bergetar; kentara sekali menahan tangis.

“Siapa bilang?” aku menatap ke arahnya, lalu Raya berbalik menatapku. Kami saling bersitatap, saling menyelam pada obsidian masing-masing.

“Ngomong yang jelas tolol.”

“Gue nggak tau harus gimana lagi, rasanya muak mendem ini terus, Ray,” aku memegang kedua bahunya, “gue suka sama lo. Suka banget, lebih dari kata suka. Gue sayang sama lo, Raya.”

Matanya masih lurus menatapku dengan dalam. Ia tak bergeming. Bibirnya mengatup rapat. Aku pun demikian. Setelah itu, tubuhku kaku membeku. Tak tahu harus apa.

“Gue juga. Mungkin jauh lebih dulu daripada lo.”

Aku membelalakkan mata. Tak dinyana, perasaanku berbalas. Perasaan yang selalu membuatku gelisah ini tak hanya kurasakan sendiri; Raya juga memiliki perasaan yang sama denganku.

“Gue nggak pernah berani nunjukkin karena menurut gue, pertemanan kita it's more important than anything, Tam.”

“Jadi, selama ini...lo nggak pernah pacaran sama siapa pun...karena gue?”

Meski tampaknya malu, Raya mengangguk.

Aku tak dapat menahan senyumku. Dengan lebar dan penuh perasaan bahagia, aku menciptakan senyum di ujung bibirku.

Kubawa tubuh Raya ke dalam pelukanku. Ia membalas pelukanku, mempererat dekapan kami.

“Tolol lo Tam, kenapa baru sekarang”

“Gue takut juga bego, kalo kita jadi asing gimana?”

Kami melepas pelukan satu sama lain. Saling menertawai diri sendiri yang begitu bodoh ini.

Kutangkup kedua pipinya, “Jangan nangis. Jelek tau muka lo belel gitu”

“Bangsat lo, belel belel gini lo naksir kocak”

“Kampret, mau bilang nggak tapi emang iya”

Kami tertawa, melepas suara yang sudah lama tak kamu tunjukkan karena jarak yang membentang di antara kami akhir-akhir ini. Kupandangi wajahnya lamat-lamat yang diterpa sinar indah Bulan malam ini. Lalu, kudekatkan wajah kami, mempertemukan permukaan bibir kami pada sebuah tautan penuh cinta itu.

Semuanya terjadi begitu membekas di tiap detiknya. Aku bisa merasakan ada perasaan hangat yang menjalar di dalam dadaku. Jantungku berdegup tak karuan, seiring dengan gerakan kami yang semakin berantakan. Kemudian, Raya lebih dulu melepas tautan kami; ia kehabisan napas.

“Lo sering kissing ya sama Andra? Pro bener,”

“Eh tai, kagak ya nyet. Lo first kiss gue tolol”

“Nggak percaya”

Aku menyentil jidatnya, “Yaudah kalo nggak percaya”

Untungnya, semua berakhir lebih baik—tak seburuk yang kupikirkan.

All Things About Us | Jay ParkWhere stories live. Discover now