“Nan, gue bingung”
Aku mengaduk-aduk teh yang mulai dingin. Semangkuk bubur ayam yang tadi kupesan telah habis kumakan. Namun, teman perempuanku masih sibuk menghabiskan buburnya—padahal pesanan kami datang di waktu yang sama.
“Apa?”
Aku menatap ke arah gelas tehku. “Sikap Tama bikin bingung”
Nanda memutar bola matanya, lalu mengembus napas panjang. “Tama lagi?”
Kuanggukkan kepalaku.
“Ray, dengerin gue deh. Kan gue udah sering bilang sama lo,”
“jangan pernah suka sama temen lo sendiri. Repot, Ray. Akhirnya lo harus pilih berkorban perasaan atau pertemanan."
“Iya Nan, gue tau. Tau banget, tapi gue nggak bisa bohong sama perasaan gue sendiri. Makin hari, perasaan gue buat Tama makin dalam. Gue sendiri nggak bisa ngendaliin, apalagi sikap Tama yang kadang kerasa kayak nggak lagi memperlakukan gue sebagai temen.”
Nanda menatapku dengan dalam. Kulihat, tatapannya menembus ke dalam obsidian mataku.
“Lo sendiri merasa nggak kalo Tama juga punya perasaan yang sama ke lo?”
Aku terdiam. Menatap ke arah lain, lalu menengguk habis teh yang sudah kuaduk entah berapa kali.
“Entahlah, Nan. Gue pikir, itu cuma perasaan gue aja. Dulu, pas SMA juga gitu kan? Nyatanya dia pacaran sama Andra.”
“Pernah coba confess?”
Aku membelalakkan mata. “Gila kali. Gue belum siap jadi asing sama Tama.”
“Susah Ray kalo gini mah. Sabar ya korban friendzone”
Ya, pertemanan memang rumit, apalagi jika melibatkan perasaan. Aku tak ingin mengorbankan apa pun di sini. Aku masih bisa memiliki Tama sebagai teman jika tak kuungkapkan perasaanku.
Namun, rasanya, semakin hari, perasaan ini semakin menyiksa.
Semesta, berikan aku petunjuk; harus apakah aku sekarang?
YOU ARE READING
All Things About Us | Jay Park
Fiksi PenggemarSeharusnya, ia tak mengabaikan perkataan sahabatnya waktu itu; "Jangan pernah suka sama temen lo sendiri. Repot, Ray. Akhirnya lo harus pilih antara berkorban perasaan atau pertemanan."