Cuaca hari ini cukup panas. Aku berjalan dari parkiran kampus sampai ke kantin yang ada di depan fakultas hukum. Gedung teknik dan hukum memang bersebelahan, jadi berjalan dari sini tak terlalu jauh. Meskipun lumayan dekat, panasnya hari ini cukup membuatku meringis karena rasanya menyengat kulit. Lima menit yang lalu, Raya mengirimiku pesan bahwa ia sedang ada di sana—membeli mie ayam langganan kami.
“Tama!” setelah aku sampai di ambang pintu kantin, Raya melambaikan tangannya padaku; gadis itu ada di meja dekat kios mie ayam.
Aku langsung menghampirinya, lalu duduk di seberangnya.
“Lo udah pesen?” tanyaku. Gadis itu mengangguk, “Gue juga udah pesenin lo mie ayam goreng kayak biasanya”
“Widihhh tumben lo”
“Tumben apa?”
“Perhatian” aku tersenyum. Raya mencebikkan bibirnya. “Gue mah emang perhatian kali”
“Masa' sih? Kok baru nyadar”
“Lo nya sibuk gamonin mantan tuh,” Raya menundukkan kepalanya, seakan menghindari tatapan mataku, lalu tertawa sarkas, “haha”
“Dih mana ada”
“Tuh instastory semalem isinya lagu galau lagi, buat Andra kan?”
Andai kau tahu, Ray, semua lagu galau yang aku pasang di media sosialku kutujukan untukmu.
Untukmu, yang tak mampu aku raih meskipun kita sedekat nadi.
Untukku, perasaanku yang tak mampu aku ucapkan meskipun telah kupendam begitu lama.
“Enak aja itu lagunya, makanya gue post.”
"Iya deh iya,” tak lama, pesanan kami datang. “Makan dulu bos, galau juga butuh energi.”
“Dibilang kagak galau juga”
Kami menyantap makanan masing-masing. Raya meraciknya dengan sambal dan kecap—ugh, melihat betapa banyaknya gadis itu menyendok sambal membuatku bergidik ngeri.
“Dibilang jangan sering makan pedes, lo punya maag bego”
Raya hanya melirik tak acuh, “Enak soalnya”
“Enak tapi ntar masuk rumah sakit, mau?”
“Ih lo ngedoain gue?”
“Bukan gitu anjir,”
Raya terkekeh, “Iya Tam gue paham maksud lo. Makasih ya udah perhatian.”
Aku terdiam sejenak, memandangi Raya yang tampak antusias menyantap mie ayamnya. Melihat Raya makan adalah salah satu hal yang paling kusuka. Gadis itu selalu tampak menikmati setiap makanan yang ia makan.
“Ray,”
“Hmm?”
“Besok, kalo lo udah nikah, gue masih boleh makan bareng lo kan?”
Raya menatapku bingung. “Buset bang, calonnya aja belum ada hilal”
Sama gue, Ray. Please. Gue pengen setiap hari makan sama lo. Makan sambil liatin lo. Makan sambil ngobrol sama lo.
“Udah, lo aja yang nggak nyadar.”
“Dih? Siapa jir?”
Raya celingak-celinguk memperhatikan sekitar, mencoba mencari sesuatu. “Eh? Jevan?”
Aku langsung menoleh ke arah pandang Raya, benar saja, Jevan melangkah mendekat ke meja kami.
“Eh? Tam!” Jevan langsung menepuk bahuku, “lama ga ketemu anjir, kemana aja lo”
“Sibuk skripsian gue,” ucapku.
“Halo Ray,” Jevan juga menyapa Raya, lalu dibalas senyuman oleh gadis di seberangku. “Halo juga, Jev.”
“Ngapain lo di sini?” tanyaku. Jevan langsung memasang wajah bertanyanya, “Lah? Ya makan dong, masa' mau karnavalan.”
“Nggak jelas lo Tam,” ucap Raya.
“Iya emang nggak jelas ini anak” timpal Jevan. Entahlah, rasanya aku seperti dirundung.
“Ngambek nih gue”
“Yaudah sana”
Aku mencebikkan bibir, lalu Raya tertawa.
“Oh iya, gue boleh gabung nggak? Kalo nggak ganggu,”
Aku menatap ke arah Raya. Gadis itu terdiam sesaat, lalu mengangguk. “Gabung aja Jev”
Jevan duduk di sebelahku, lalu tak lama ia berlalu untuk mengambil pesanannya. Setelah itu, ia kembali, dan ikut menyantap hidangannya bersama kami.
Meja kami beberapa saat hening karena dari kami bertiga sibuk menghabiskan makanan masing-masing. Namun, tak lama, suara mulai terdengar dari kami satu per satu. Kami membicarakan banyak hal, dari candaan-candaan kecil, sampai hal seserius masa depan setelah lulus kuliah.
Ada sedikit hal yang mengganjal perasaanku.
Melihat betapa dekatnya Raya dan Jevan berbincang, membuat hatiku sedikit tercubit. Mereka tampak menikmati waktu seakan tak ada aku di situ.
Sejak kapan mereka sedekat ini?
Jujur, aku cemburu karena bukan akulah satu-satunya laki-laki yang menciptakan tawanya Raya. Kini, Jevan datang dan turut andil di dalamnya.
Semesta, aku belum siap untuk patah hati kali ini.
YOU ARE READING
All Things About Us | Jay Park
FanfictionSeharusnya, ia tak mengabaikan perkataan sahabatnya waktu itu; "Jangan pernah suka sama temen lo sendiri. Repot, Ray. Akhirnya lo harus pilih antara berkorban perasaan atau pertemanan."