Warning!
Part ini mengandung banyak sekali typo!
Happy Reading!
°°°°°Pasokan udara yang masuk ke dalam tubuhnya seolah semakin berkurang setiap detik, aura mencekam yang berasal dari sang Papa benar-benar mencekik Ayden. Bulir keringat bercucuran di dahi remaja itu sedari tadi, Ayden kira Abraham tidak akan bangun secepat itu dan menyadari kalau dirinya tak ada di rumah.
Tidak terasa mobil yang di tumpangi mereka berhenti di sebuah bangunan yang selama ini menjadi tempat tinggalnya, Ayden menelan ludahnya susah payah. Jujur, melihat bangunan itu membuat ia tak tenang. Ayden merasa sesuatu akan terjadi padanya.
"Turun sendiri atau Papa gendong?"
Suara bariton yang terdengar berat itu menyapa indra pendengaran Ayden yang melamun sambil melihat rumahnya, bak slow motion ia menolehkan kepalanya ke samping. "Tu-turun sendiri," jawab Ayden.
Ayden beranjak keluar mobil setelah pria paruh baya itu keluar lebih dulu, dia menunduk sembari mengikuti langkah Abraham, tubuhnya sedikit bergetar. "Perasaan gue makin gak enak, ini juga badan gue kenapa gemeteran gini anjirr? Dia kagak bakal mutilasi kaki gue kan?" terka Ayden dalam batinnya.
Saat akan menaiki anak tangga, tanpa Ayden ketahui Abraham menghentikan langkahnya. Remaja itu menubruk punggung tegap sang Papa hingga membuat keningnya berdenyut nyeri, "sialan! Siapa----" Anak itu tidak melanjutkan perkataan nya begitu merasakan sebuah cengkeraman pada rahangnya.
"Berani kamu mengumpat? Siapa yang mengajarimu mengumpat? Gurumu?" tanya Abraham mendesak sembari melayangkan tatapan tajamnya. Sang empu tidak bisa menjawab, sebab kesusahan untuk menggerakkan mulutnya akibat Abraham mencengkeram rahangnya lumayan kuat.
"JAWAB AYDEN?!" bentak Abraham membuat kedua mata remaja itu terpejam, jantungnya berpacu dua kali lipat begitu Abraham membentak tepat di depan wajahnya.
Ayden menggerakkan kepalanya pelan, bibirnya sedikit terbuka mengucapkan beberapa kata yang membuat Abraham semakin menjadi. Pria paruh baya itu melepaskan tangannya pada rahang Ayden, dia menarik lengan putra bungsunya dan menariknya menaiki anak tangga.
Remaja itu sedikit kesusahan untuk menyeimbangi langkah Abraham yang lebar, ia di bawa masuk ke dalam kamarnya. Kedua pupil mata Ayden membulat begitu menyadari kalau pria itu membuka ikat pinggang nya.
"Cok? Ini gue mau di apain!?" batin Ayden panik.
"Ini hukuman kamu! Sudah berani keluar rumah tanpa sepengetahuan Papa dan sudah berani mengumpat! Hitung sampai 30!" ucap Abraham kemudian melayangkan ikat pinggangnya pada punggung Ayden yang masih terhalang oleh kaos.
Tanpa ada persiapan apa pun, suara teriakan Ayden terdengar begitu menggelar di dalam kamarnya. 1 cambukan yang berhasil mendarat di punggungnya saja sudah terasa sesakit ini bahkan kedua kakinya lemas bagaikan jelly, bagaimana jika 30 cambukan? Sepertinya hari ini juga Ayden akan mati.
"AKH!"
Suara aduan antara ikat pinggang dan punggung Ayden terdengar sangat jelas di ruang kamar yang sepi, sudut mata remaja itu mengeluarkan krystal bening dengan berturut-turut. Ia tidak menyangka di kehidupannya kali ini harus berhadapan dengan keluarga toxic, ini adalah mimpi buruk sepanjang hidupnya.
Ayden mengepalkan kedua tangannya berusaha menyalurkan rasa sakit serta panas yang dia rasakan di punggungnya, ini benar-benar menyakitkan! Ayden tidak kuat untuk menahannya, "Papa... Plis, Ayden mohon... Uda---- AKH!?"
Abraham menulikan kedua telinganya, ia menghiraukan perkataan putra bungsunya yang meminta berhenti. Jika putranya itu tidak di tegur dengan cara seperti ini dia yakin, suatu saat anak itu pasti akan melakukan hal yang sama meskipun dia tak menjamin setelah melakukan ini Ayden akan melakukan hal yang sama atau tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
New Life || Brayden
Teen FictionBROTHERSHIP⚠️ Cerita ini menceritakan tentang Althair Brayden atau yang kerap kali di panggil Ayden yang menjalani kehidupan barunya di tubuh orang lain setelah mengalami kecelakaan motor ketika pulang sekolah setelah guyuran air hujan berhenti. **...