Pagi berikutnya, Hasan bangun dengan semangat yang diperbarui setelah berbicara dengan orang tuanya. Meski masih ada kegelisahan yang mengganjal di hatinya, dorongan dari Umma, Baba, dan kehadiran Qahtan yang menggemaskan telah memberikan ketenangan tersendiri. Hasan tahu bahwa dia harus bergerak cepat untuk menyelesaikan masalah ini sebelum semuanya semakin rumit.
Hasan menatap langit-langit kamar sejenak, mengatur napasnya sebelum beranjak dari tempat tidur. Setelah bersiap, ia keluar dari kamarnya dan menuju ruang makan di rumah Arga, di mana Fayyadh dan Shafiyyah sudah menunggunya.
"Selamat pagi, Hasan!" sapa Shafiyyah ceria sambil menyiapkan sarapan di meja. Wajahnya berseri-seri melihat Hasan, namun senyum itu sedikit menghilang saat ia menangkap raut wajah serius Hasan.
"Pagi, Hasan," sapa Fayyadh yang sedang duduk sambil membaca berita di tablet. "Kamu kelihatan lebih baik pagi ini."
Hasan mengangguk dan duduk di kursinya. "Aku sempat bicara dengan Umma dan Baba tadi malam. Mereka memberikan nasihat yang sangat membantu. Aku juga berpikir untuk memulai penyelidikan ini dengan lebih sistematis."
Shafiyyah menyodorkan sepiring roti bakar dan telur rebus kepada Hasan. "Kamu harus makan dulu, Hasan. Kita semua tahu kamu butuh energi untuk menjalani hari ini."
Hasan tersenyum tipis dan mengambil roti bakar itu. "Terima kasih, Shafiyyah. Kamu memang selalu perhatian."
Wajah Shafiyyah sedikit merona mendengar pujian dari Hasan. Namun, Hasan segera mengalihkan pembicaraan. "Kita harus mulai mencari tahu siapa yang bisa menjadi saksi atau memberikan informasi terkait dengan kejadian hilangnya para mahasiswi."
Fayyadh meletakkan tablet yang dia pegang dan menatap Hasan serius. "Aku sudah memikirkan hal yang sama. Aku juga berbicara dengan beberapa teman di kampus. Mereka mengatakan bahwa beberapa mahasiswi yang hilang terakhir kali terlihat di sekitar asrama mereka. Mungkin kita bisa mulai dari sana."
Hasan mengangguk, mengunyah roti bakarnya dengan penuh pikiran. "Itu ide bagus. Kita bisa bertanya kepada penjaga asrama, teman-teman sekelas mereka, atau siapa pun yang mungkin melihat sesuatu yang mencurigakan."
Shafiyyah mendengarkan dengan penuh perhatian, sambil sesekali mencuri pandang ke arah Hasan. Dia merasa cemas dengan situasi yang sedang dihadapi Hasan, namun juga terkesan dengan ketenangan dan tekadnya.
"Hasan, kamu yakin ini tidak berbahaya?" tanya Shafiyyah dengan nada khawatir. "Aku tahu kamu ingin membersihkan namamu, tapi jangan sampai ini membahayakanmu."
Hasan menatap Shafiyyah dengan lembut. "Aku mengerti kekhawatiranmu, Shafiyyah. Tapi aku harus melakukan ini. Nama baikku dipertaruhkan, dan lebih dari itu, ada beberapa mahasiswi yang hilang. Aku tidak bisa diam saja."
Shafiyyah menggigit bibirnya dan mengangguk. "Kalau begitu, aku akan membantu sebisa mungkin. Kalau ada yang perlu aku lakukan, katakan saja."
Hasan tersenyum, merasa tersentuh oleh perhatian Shafiyyah. "Terima kasih, Shafiyyah. Dukunganmu sangat berarti."
Setelah sarapan, mereka bertiga segera menuju kampus. Sesampainya di sana, suasana kampus terasa lebih tegang dari biasanya. Berita tentang hilangnya beberapa mahasiswi telah menyebar luas, dan setiap orang tampak waspada dan gelisah. Hasan, Fayyadh, dan Shafiyyah berjalan melewati kerumunan mahasiswa yang berbisik-bisik dan saling bertukar pandang penuh kecurigaan.
Hasan merasakan tatapan dingin dari beberapa mahasiswa saat mereka melewati koridor utama kampus. "Mereka semua pasti sudah mendengar rumor itu," bisik Fayyadh.
Hasan mengangguk pelan. "Ya, dan mereka mungkin sudah mulai percaya dengan tuduhan itu. Kita harus segera menemukan bukti yang bisa membuktikan bahwa aku tidak bersalah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Selat Bosphorus
AbenteuerSetelah kembali dari petualangan yang penuh tantangan di Turki, Hasan dihadapkan pada realitas baru yang tak pernah ia duga: ia dijodohkan dengan sepupunya sendiri, Hafshah. Meskipun mereka tumbuh bersama, Hasan tidak pernah menganggap Hafshah seba...