Sore hari itu, Hasan duduk di meja belajarnya, matanya lelah setelah seharian menyelidiki kasus yang semakin rumit. Dengan menggunakan laptop, ia memutuskan untuk melakukan video call dengan orang tuanya, Alifya dan Zaidan, di Indonesia. Perasaan cemas dan bingung membuatnya ingin berbagi kabar terbaru dan mendapatkan nasihat dari mereka.
Ia menekan tombol untuk memulai panggilan video. Beberapa detik kemudian, layar laptopnya menampilkan wajah Alifya dan Zaidan yang sedang duduk di ruang keluarga rumah mereka di Indonesia. Senyum mereka segera menghilang begitu melihat ekspresi serius Hasan.
"Assalamualaikum, Hasan," sapa Alifya dengan lembut. "Apa kabar? Kami mendengar ada masalah di kampus."
"Waalaikumsalam, Umma, Baba," jawab Hasan sambil mencoba tersenyum. "Ya, ada beberapa masalah besar. Aku sebenarnya butuh bimbingan kalian."
Zaidan menatap Hasan dengan penuh perhatian. "Ceritakan semuanya, Nak. Kami ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Hasan mengambil napas dalam-dalam sebelum mulai menjelaskan. "Jadi, kemarin malam, beberapa mahasiswi, termasuk Leyla, menghilang secara tiba-tiba. Tidak hanya itu, ada tuduhan yang mengarah padaku, yang menyatakan bahwa aku terlibat dalam kasus ini. Sekarang ada bukti palsu yang diputarbalikkan untuk membuatku terlihat bersalah."
Alifya dan Zaidan saling bertukar pandang. "Kita memang harus berhati-hati," kata Alifya dengan nada serius. "Kamu harus tetap tenang dan fokus pada kebenaran. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam permainan mereka."
"Ya, Hasan," tambah Zaidan. "Kami percaya pada kamu. Jangan ragu untuk mencari bantuan dan buktikan ketidakbersalahanmu. Cobalah untuk mencari jejak dan pelaku yang sebenarnya. Ini semua mungkin ada kaitannya dengan seseorang yang ingin menghancurkan reputasimu."
Hasan mengangguk, merasa sedikit lebih tenang setelah mendengar nasihat dari orang tuanya. "Terima kasih, Umma, Baba. Aku sudah mulai mencari tahu siapa yang mungkin terlibat dan mencari Leyla dan mahasiswi lainnya."
Alifya memandang Hasan dengan penuh perhatian. "Ada sesuatu yang membuat Umma merasa ini mungkin ada kaitannya dengan masa lalu kita. Umma pernah mengalami sesuatu yang mirip ketika aku masih di Turki dulu. Jadi, hati-hati dan jangan ragu untuk mencari bantuan dari teman-teman di kampus. Mereka mungkin bisa membantu."
Hasan merasa terkejut. "Apa yang Umma maksudkan dengan itu?"
Alifya menghela napas dan menjelaskan dengan lembut. "Saat Umma di Turki dulu, aku juga menghadapi situasi di mana seseorang mencoba merusak reputasi. Meskipun tidak sama persis, tapi insting Umma mengatakan bahwa ini mungkin ada hubungannya dengan masa lalu kita. Jadi, hati-hati dan tetap waspada."
Saat mereka berbicara, tiba-tiba layar laptop Hasan menunjukkan gambar yang menggemaskan. Seorang anak kecil dengan pipi chubby dan mata cerah muncul di layar.
"Qahtan!" seru Hasan dengan terkejut dan senang. "Apa yang kamu lakukan di sini?"
Di layar, Qahtan, putra dari Azmi dan Naira yang kini berusia 3 tahun, terlihat sangat antusias. "Bang Hasan!" teriak Qahtan dengan gembira, sambil melambai-lambaikan tangan ke arah kamera.
Alifya dan Zaidan tersenyum melihat betapa bahagianya Qahtan. "Qahtan sangat merindukanmu," kata Alifya sambil mengelus kepala Qahtan yang duduk di pangkuannya. "Dia tidak sabar untuk bicara denganmu."
Qahtan terus melambaikan tangan dan berseru, "Bang Hasan, main yuk! Qahtan mau main sama Bang Hasan!"
Hasan tertawa melihat kegembiraan Qahtan. "Tentu saja, Qahtan! Kita bisa main nanti. Tapi sekarang, aku sedang berbicara dengan Umma dan Baba."
Qahtan merengut sedikit dan mengerutkan kening. "Kenapa? Qahtan mau cerita sama Bang Hasan!"
"Tenang, Qahtan," kata Zaidan dengan lembut. "Bang Hasan sedang ada urusan penting, tapi nanti Abang pasti main sama Qahtan."
Qahtan kemudian memperhatikan Hasan dengan penuh perhatian. "Bang Hasan, Qahtan pengen main mobil-mobilan. Nanti Bang Hasan beli mobil-mobilan buat Qahtan?"
"Kalau begitu, Bang Hasan janji deh, nanti setelah Abang selesai urusan, kita main mobil-mobilan bersama. Qahtan mau main di mana?" tanya Hasan dengan suara lembut.
"Di halaman belakang!" seru Qahtan, matanya berbinar. "Ada banyak mainan di sana. Qahtan mau main balapan!"
Alifya dan Zaidan tertawa melihat betapa manjanya Qahtan. "Qahtan memang anak yang sangat ceria dan penuh energi," kata Alifya. "Dia selalu membuat hari-hari kami lebih ceria."
"Ya, dia juga sangat sayang pada Abang Hasan," tambah Zaidan. "Kalian punya hubungan yang sangat spesial."
Hasan tersenyum lebar, merasa lebih baik setelah melihat wajah ceria Qahtan. "Aku sangat rindu Qahtan. Aku akan segera pulang dan kita akan main bersama. Sekarang Abang harus menyelesaikan masalah ini dulu, ya?"
Qahtan mengangguk dengan penuh pengertian, meski wajahnya masih tampak sedikit kecewa. "Oke, Abang. Tapi jangan lupa janji ya?"
"Pasti! Janji!" kata Hasan dengan penuh semangat. "Sekarang, Qahtan, bermainlah dengan mainan favoritmu, ya?"
Qahtan tersenyum lebar dan melambai-lambaikan tangan. "Bye-bye, Bang Hasan!"
Setelah Qahtan selesai bicara, Alifya dan Zaidan kembali fokus pada percakapan. "Kami akan terus mendukungmu, Hasan. Jangan ragu untuk menghubungi kami kapan saja kamu butuh bantuan atau dukungan."
Hasan merasa lebih diberdayakan setelah mendapatkan dorongan dari orang tuanya dan melihat kehadiran Qahtan yang penuh semangat. "Terima kasih, Umma, Baba. Aku akan terus berusaha dan tidak akan menyerah. Semoga kita bisa segera mengatasi masalah ini dan menemukan Leyla serta mahasiswi lainnya."
Percakapan mereka berakhir dengan salam perpisahan dan doa dari orang tuanya. Hasan menutup laptopnya dengan rasa lega dan tekad yang lebih kuat. Kegembiraan dan kepedulian dari Qahtan memberikan energi baru bagi Hasan untuk menghadapi tantangan yang ada di depannya.
Sambil duduk kembali di meja belajarnya, Hasan merenung tentang segala hal yang telah terjadi. Ia merasa lebih siap untuk melanjutkan penyelidikan dan membersihkan namanya. Dengan dukungan dari orang tua dan dorongan semangat dari Qahtan, Hasan tahu bahwa ia tidak sendirian dalam perjuangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selat Bosphorus
AventuraSetelah kembali dari petualangan yang penuh tantangan di Turki, Hasan dihadapkan pada realitas baru yang tak pernah ia duga: ia dijodohkan dengan sepupunya sendiri, Hafshah. Meskipun mereka tumbuh bersama, Hasan tidak pernah menganggap Hafshah seba...