Hasan merasa lega saat akhirnya berhasil melarikan diri dari cengkeraman Carlos. Tubuhnya masih terasa lemas, dan pikirannya penuh dengan rasa takut dan trauma. Dia berlari sejauh mungkin dari gedung tua tempat ia disekap, hanya berfokus pada satu hal—selamat.
Setelah beberapa waktu, Hasan berhasil menemukan sebuah tempat yang cukup aman untuk bersembunyi sejenak. Nafasnya tersengal-sengal, dan keringat mengalir deras di wajahnya. Dia merogoh saku celananya dengan tangan gemetar, mencari ponselnya. Begitu ponsel ditemukan, ia segera menelepon Fayyadh.
"Fayyadh...," suara Hasan terdengar parau. "Aku... aku berhasil lolos. Aku butuh bantuanmu, sekarang."
Fayyadh yang mendengar suara sahabatnya itu langsung panik. "Hasan! Di mana kamu? Aku akan datang sekarang juga. Bertahanlah!"
Hasan memberikan lokasi di mana ia berada, dan tak lama kemudian, Fayyadh tiba dengan mobilnya. Begitu melihat kondisi Hasan yang penuh luka dan terlihat sangat lelah, Fayyadh langsung menghampirinya dan memeluknya dengan erat.
"Alhamdulillah, kamu selamat," bisik Fayyadh sambil menepuk-nepuk punggung Hasan. "Ayo, kita pergi dari sini. Kita harus kembali ke rumah Om Arga."
Hasan hanya bisa mengangguk lemah, masih merasa terlalu lelah untuk berbicara banyak. Fayyadh membantunya masuk ke dalam mobil, dan mereka pun melaju menuju rumah Om Arga. Selama perjalanan, Hasan hanya terdiam, memandangi pemandangan di luar jendela mobil dengan pikiran yang kacau. Bayangan Carlos yang tersenyum kejam masih terpatri jelas di benaknya.
Sesampainya di rumah Om Arga, Hasan disambut dengan cemas oleh Shafiyyah dan Om Arga. Wajah mereka dipenuhi kekhawatiran, terutama ketika mereka melihat kondisi Hasan yang tampak sangat kelelahan.
"Mas Hasan, apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja?" tanya Shafiyyah dengan suara lirih, matanya hampir berkaca-kaca.
Hasan mencoba tersenyum tipis untuk menenangkan Shafiyyah, meskipun dalam hatinya masih ada rasa takut yang tersisa. "Aku... aku baik-baik saja sekarang. Terima kasih, Shafiyyah."
Om Arga menepuk bahu Hasan dengan lembut. "Kita perlu bicara, Hasan. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang sudah melakukan ini padamu?"
Hasan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum menceritakan semuanya. "Ini semua ulah Carlos. Dia... dia menjebakku. Aku tidak tahu apa yang dia inginkan, tapi yang jelas dia berusaha menghancurkan hidupku. Dan sekarang... dia mungkin masih mengawasiku."
Fayyadh mengerutkan kening, ekspresinya penuh dengan kemarahan. "Kita tidak bisa membiarkan Carlos terus melakukan ini. Kita harus melaporkannya ke polisi."
Hasan menggelengkan kepalanya. "Tidak semudah itu, Fayyadh. Carlos memiliki koneksi yang kuat. Aku tidak tahu siapa yang bisa kita percayai. Lagipula, aku yakin dia tidak akan berhenti hanya dengan ini. Ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini."
Om Arga berpikir sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Kita perlu mencari tahu lebih banyak. Untuk sekarang, kamu harus beristirahat, Hasan. Besok kita akan pikirkan langkah selanjutnya."
Malam itu, Hasan mencoba tidur, tapi pikirannya terus-menerus terbayang oleh kejadian-kejadian mengerikan yang baru saja ia alami. Tidur yang seharusnya menjadi pelarian dari kenyataan malah berubah menjadi mimpi buruk yang terus menghantuinya.
___________________
Keesokan harinya, Hasan memutuskan untuk tetap pergi ke kampus, meskipun Fayyadh dan Shafiyyah menyarankan agar ia beristirahat lebih lama. Hasan merasa bahwa berdiam diri hanya akan membuatnya semakin terpuruk. Namun, sesampainya di kampus, suasana terasa aneh. Tatapan para mahasiswa yang biasanya ramah kini berubah menjadi penuh kecurigaan dan kebencian.
Hasan berjalan perlahan menuju kelasnya, merasa ada yang tidak beres. Setiap langkahnya diikuti oleh bisikan-bisikan yang jelas terdengar menghina dan menghakimi. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, tetapi perasaan tidak nyaman itu semakin kuat.
Saat masuk ke dalam kelas, semua mata tertuju padanya. Ada yang berbisik-bisik, ada yang menatapnya dengan penuh kebencian. Salah satu temannya, Leyla, yang biasanya bersikap ramah, kini justru mendekatinya dengan wajah penuh kebencian.
"Kau pikir bisa lolos begitu saja, Hasan?" Leyla menyindir dengan suara dingin. "Kami tahu siapa kau sebenarnya. Jangan berpura-pura menjadi orang baik."
Hasan terkejut mendengar ucapan itu. "Apa maksudmu, Leyla? Aku tidak melakukan apa pun."
Leyla mendengus. "Banyak mahasiswi yang hilang, dan semua bukti mengarah padamu. Kau penjahat, Hasan. Dan kami semua tahu itu."
Hasan membeku di tempatnya. "Apa...? Tidak, itu tidak benar! Aku tidak melakukan apa pun!" suaranya terdengar putus asa, tapi tatapan Leyla dan teman-teman lainnya hanya penuh dengan penghinaan.
Saat itu, Fayyadh datang dan langsung menarik Hasan keluar dari kelas. "Kita harus pergi dari sini, sekarang," kata Fayyadh dengan nada tegas.
Hasan tidak sempat bertanya lebih jauh, karena tiba-tiba beberapa petugas keamanan kampus mendekati mereka. "Hasan, Anda harus ikut kami ke kantor polisi. Ada tuduhan serius terhadap Anda yang harus diselidiki," ujar salah satu petugas dengan tegas.
Hasan menatap petugas itu dengan mata terbelalak. "Tapi aku tidak bersalah! Ini semua kesalahpahaman!"
Namun, petugas itu hanya menggelengkan kepala. "Kita akan melihat itu nanti. Sekarang, Anda harus ikut kami."
Hasan tidak punya pilihan lain selain mengikuti petugas itu. Di dalam mobil polisi, dia hanya bisa duduk terdiam, sementara pikirannya berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Semua ini terjadi begitu cepat, dan dia tidak tahu bagaimana menghadapinya.
____________
Sesampainya di kantor polisi, Hasan langsung diinterogasi mengenai hilangnya beberapa mahasiswi di kampus. Semua bukti yang diajukan kepadanya tampak begitu meyakinkan, seolah-olah semua dirancang untuk menjebaknya. Foto-foto, rekaman CCTV, dan kesaksian palsu yang mengarah padanya semua diperlihatkan dengan jelas.
Petugas yang menginterogasi Hasan menatapnya dengan tajam. "Semua bukti ini menunjukkan bahwa Anda terlibat dalam hilangnya mahasiswi-mahasiswi tersebut. Kami butuh penjelasan yang masuk akal, atau Anda akan ditahan."
Hasan merasa semakin terpojok. Dia berusaha menjelaskan bahwa dia dijebak, bahwa ini semua adalah ulah Carlos, tetapi kata-katanya seolah tidak berarti apa pun di hadapan tumpukan bukti yang tampaknya begitu solid.
"Aku... aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Semua ini tidak benar... Aku dijebak!" Hasan mencoba berbicara dengan tegas, tetapi nada suaranya mulai terdengar putus asa.
Petugas itu hanya menggelengkan kepala. "Kita akan melanjutkan penyelidikan, tapi sampai saat itu, Anda akan ditahan sementara."
Hasan merasa seluruh dunianya runtuh saat mendengar keputusan itu. Di luar kantor polisi, Fayyadh dan Shafiyyah menunggu dengan cemas. Saat mereka melihat Hasan keluar dengan wajah pucat dan penuh tekanan, mereka segera menghampirinya.
"Mas Hasan, apa yang mereka katakan? Apa yang terjadi?" tanya Shafiyyah dengan suara gemetar.
"Ada bukti baru... tapi semua itu palsu. Mereka akan menahanku sampai penyelidikan selesai," jawab Hasan dengan suara pelan, matanya terlihat kosong.
Fayyadh mengepalkan tangan, kemarahan jelas tergambar di wajahnya. "Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi, Hasan. Kita harus lakukan sesuatu!"
Namun, sebelum mereka sempat mengambil tindakan lebih lanjut, petugas polisi kembali membawa Hasan masuk ke dalam kantor polisi, kali ini untuk ditahan. Tuduhan terhadapnya semakin berat, dan ia tidak bisa berbuat banyak untuk membela diri.
Di dalam sel yang dingin dan gelap, Hasan duduk sendirian. Pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan Carlos yang terus menghantuinya. Dia tahu ini belum berakhir. Carlos masih mengawasinya, masih menunggu saat yang tepat untuk menyerang lagi. Tapi yang lebih mengerikan adalah, ia tidak tahu kapan atau bagaimana serangan berikutnya akan datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selat Bosphorus
PertualanganSetelah kembali dari petualangan yang penuh tantangan di Turki, Hasan dihadapkan pada realitas baru yang tak pernah ia duga: ia dijodohkan dengan sepupunya sendiri, Hafshah. Meskipun mereka tumbuh bersama, Hasan tidak pernah menganggap Hafshah seba...