3

520 37 3
                                    

⚠️ Cerita ini fiksi, apabila terdapat kesamaan nama, alur dan tempat adalah KESENGAJAAN untuk sarkas kepada pemerintah. Tindakan tidak terpuji yang dilakukan aparat serta para pegawai pemerintah hanyalah mendukung alur cerita ⚠️ Cerita ini juga tidak mengandung unsur dewasa dan child grooming karena agegap, harap membaca cerita sampai tamat ⚠️

 Tindakan tidak terpuji yang dilakukan aparat serta para pegawai pemerintah hanyalah mendukung alur cerita ⚠️ Cerita ini juga tidak mengandung unsur dewasa dan child grooming karena agegap, harap membaca cerita sampai tamat ⚠️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nama

===

"Nama kamu siapa?" tanya Wijaya, masih merangkul Santoso. Lengannya terasa berat di pundak Santoso yang acap kali menerima pukulan meleset dari sang ayah yang seharusnya mengenai kepalanya itu.

"Santoso, Pak," jawabnya lugas.

"Oh, kamu yang berhasil juara lomba debat dan penulis artikel politik yang dimuat di koran harian Arah?" Santoso heran dari mana Wijaya bisa mengetahui siapa dirinya, tetapi melihat kebingungan Santoso, Wijaya pun melanjutkan. "Saya tadi nggak sengaja lewat majalah dinding kampus. Ada nama kamu di sana, beserta artikel buatan kamu. Kamu heran kenapa orang setenang saya mau jadi polisi, saya heran kenapa orang sepintar kamu masih harus belajar ke kampus."

Santoso melihat orang di sebelahnya ini adalah lawan debat yang cukup sepadan hanya dari beberapa kali percakapan singkat. Jadi ia pun mulai menimpali. "Memang selain ke kampus, saya ke mana lagi untuk mendapatkan masa depan lebih baik? Saya dahulu tukang semir sepatu di Senayan. Banyak dari pelanggan saya bilang sayang kalau saya cuma jadi tukang semir sepatu, padahal saya cukup pintar."

"Tidak, bukan salah kamu." Wijaya merasa Santoso sedikit melawan jadi ia mengeratkan rangkulannya itu. "Saya rasa itu salah lingkungan kamu. Kamu salah memilih lingkungan kamu tinggal. Kenapa orang-orang di lingkungan kamu tidak mendukung kamu, tidak membawa kamu ke tempat lebih bagus dibandingkan kampus ini, kenapa mereka tidak menyediakan kamu kesempatan lebih dari sekadar jadi mahasiswa? Kamu bisa magang di perusahaan besar mengandalkan prestasi kamu, atau mendaftar menjadi calon pegawai sipil pemerintah."

Baru kali ini Santoso kalah berdebat dengan laki-laki. Ia ingin membuat dirinya menang di depan Wijaya dengan mengatakan bahwa memang benar lingkungannya yang seperti neraka. Ayahnya tidak bertanggung jawab dan ibunya hanya bisa menangis, tapi jika ia mengatakan itu, maka ia menyetujui tanggapan Wijaya. Seharusnya ia membantah argumen polisi itu.

"Kenapa para polisi sampai bisa masuk ke lingkungan universitas?" Karena sudah jelas kalah berdebat, akhirnya Santoso mengalihkan pembicaraan. Mereka melewati gedung rektorat, seharusnya gedung itu biasanya masih ramai. Tetapi gedung paling megah di kampus tersebut sudah sepi bagai tak pernah dihuni oleh orang nomor satu di kampus.

"Katanya salah seorang mahasiswa ada yang menghajar polisi, mahasiswa itu kabur sampai ke universitas ini." Wijaya membawanya menuju sebuah ruangan di fakultas Bisnis dan Ekonomi. Santoso pernah masuk ke ruangan ini untuk mengambil mata kuliah tambahan agar pengetahuannya dibidang ekonomi bertambah.

Tanda SeruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang