"Pergi dari Indonesia atau kau akan mati menderita." Itu seruan yang mengerikan, tetapi kenapa masih banyak yang bertahan di negeri ini?
Santoso merelakan beasiswanya demi menjadi musuh pemerintah, alhasil ia harus meninggalkan Indonesia. Hanya ada...
Biasanya update seminggu 1x tapi karena cerita ini juga mengambil latar sejarah yang sama, akhirnya memutuskan update di tanggal 30 ini. Terima kasih yang sudah bertahan sampai bab ini, meski di sini kalian merasa jadi baca cerita sejarah berkedok romance ya. Di chapter berikutnya, semakin nggak sabar menunjukan kisah romance greget ala Om Santo ahay.
Pesan terakhir, seburuk dan semengerikan apa pun sejarah bangsamu, jangan takut untuk membaca dan mencari tahu. Banyak hal yang sudah menyetir kehidupan kita, seperti cita-cita kita yang disetir orangtua, barang-barang keluaran baru yang disetir lingkungan sekitar, tapi tidak dengan sejarah. Happy reading, JAS MERAH!
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
===
Santoso turun dari motor sebelum motor sempat diparkirkan dengan benar oleh Tarjo. Ia berlari hendak menerjang Johan yang dengan jemawa berdiri di tengah lahan tandus tak bermilik. Namun, terjangannya terhenti begitu melihat manik Wening yang tertutup rapat.
"Gue udah bilang jangan sakitin Wening!" teriaknya di luar kendali. Jantungnya berdegup cepat, emosinya siap meledak saat itu juga, menunggu Johan menurunkan tubuh Wening yang lemas dari pundaknya. Santoso tidak ingin saat ia menghajar Johan, justru Wening ikut terkena pukulannya meski gadis itu sudah tak sadarkan diri.
Johan menurunkan Wening dengan kasar, membuat Santoso meraih Wening sebelum tubuh gadis itu terjembab di tanah. "Ini anak masih hidup, tadi gue tembak dia cuma nyerempet dada kanannya aja. Pelurunya nggak sampai masuk ke dada."
"Wening!" panggil Santoso kalut. Ia menempatkan kepala Wening di kedua pahanya, mencoba menepuk-nepuk pipi Wening beberapa kali. Usaha yang sia-sia tapi tetap ia lakukan.
"Gue latihan nembak dada orang tanpa buat orangnya mati itu lumayan lama. Banyak sniper bisa membuat targetnya mati, tapi jarang ada sniper yang bisa memastikan targetnya cuma pingsan, dan nggak akan mati." Di tengah kekalutan Santoso, bisa-bisanya Johan mengoceh, memamerkan kelebihannya. "Nggak cuma lo di sini yang genius, San. Gue selama ini pura-pura bego aja. Jadi buruh yang nggak kuliah. Gue mual denger lo ngoceh tiap hari soal mata kuliah lo, teori sinting di ilmu politik, pasal-pasal hukum yang harus direvisi, dosen-dosen lo yang pemalas." Johan berjongkok di hadapannya dan Wening. "Bagi orang pinter kayak gue, pura-pura jadi bego itu hiburan."
Diam-diam Santoso mengecek nadi di leher Wening. Ternyata Johan tidak ingkar, Wening masih hidup. Bahkan satu-satunya keluarga Soeryo yang masih hidup. Baju Wening penuh dengan bercak tanah, asumsi Santoso, Johan mengambil kembali jasad Wening dari dalam liang kubur yang masih terbuka, terletak mungkin hanya lima meter dari tempat mereka. Liang itu mengeluarkan bau darah tetapi belum begitu menyengat.
Santoso ingin melihat keadaan Soeryo terakhir kalinya pada liang itu, tapi ia menahan semua rasa penasarannya demi keselamatan Wening. "Terserah lo mau ngomong apa, mau bilang gue orang paling bego pun gue terima aja tapi gue mau nyelametin nyawa Wening dulu. Gue bakal bawa dia ke rumah sakit."