10

711 100 14
                                    

⚠️ Cerita ini fiksi, apabila terdapat kesamaan nama, alur dan tempat adalah KESENGAJAAN untuk sarkas kepada pemerintah. Tindakan tidak terpuji yang dilakukan aparat serta para pegawai pemerintah hanyalah mendukung alur cerita ⚠️ Cerita ini juga tidak mengandung unsur dewasa dan child grooming karena agegap, harap membaca cerita sampai tamat ⚠️

 Tindakan tidak terpuji yang dilakukan aparat serta para pegawai pemerintah hanyalah mendukung alur cerita ⚠️ Cerita ini juga tidak mengandung unsur dewasa dan child grooming karena agegap, harap membaca cerita sampai tamat ⚠️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cantik

===

"Cantik ya?" puji Suri yang tak kunjung melepas pandangannya dari wajah Wening seusai memberikan kompres hangat. "Benar, kan?" 

Santoso salah tingkah atau mungkin pikirannya sedang tidak fokus karena nyaris tidak tidur semalaman. "Iya, cantik," balasnya mengiyakan pendapat sang ibu. 

Wening nyaris tak memiliki kemiripan dengan ayahnya selain sifatnya yang suka jago kandang. Hidung Wening lancip dan mancung. Sang pengasuh, Bibi Mun, percaya bahwa hidung mancung Wening adalah berkat dirinya yang tiap malam memijit pelan hidung Wening sembari bersenandung tembang Jawa. Bibir Wening yang biasanya selalu merona itu kini pucat dan kering. Mata lentiknya yang kerap kali tampak mengantuk itu tertutup rapat. Dalam kondisi terburuknya Wening masih terlihat sempurna.

Tanpa banyak tanya, Suri segera menyuruh Tarjo dan Santoso membaringkan Wening di kamar Santoso. Dipersiapkannya obat-obatan seadanya yang tersisa di rumahnya. Mulai dari beberapa bubuk rempah serta kapas beserta kain bekas. Santoso hanya menjelaskan bahwa gadis ini adalah putri Soeryo, orang yang diketahui Suri sebagai pengubah nasib Santoso karena berhasil membuat anaknya bisa berkuliah. Di keluarganya, tidak ada yang bisa menginjak bangku kuliah. 

"Coba saja gadis secantik ini jadi anakku," seloroh wanita paruh baya itu yang mendapatkan decakan kesal dari Santoso. 

"Kalau perempuan ini jadi anak ibu, sudah habis di tangan Bapak." Santoso enggan menanggapi celotehan sang ibu, ia pura-pura sibuk membereskan berkas-berkas di mejanya lantas memasukannya ke dalam tas yang sudah berkali-kali ia jahit karena robek. 

"Pantas saja Allah tidak memberi Ibu anak perempuan, semua anak Ibu laki-laki. Mungkin benar apa kata kamu, San."

Seketika Santoso merasa bersalah. "Bukan begitu maksudku, Bu. Ah, sudahlah. Jangan dipikirkan." Pemuda itu pun bingung sendiri menemukan kata yang pas agar sang ibu tidak tersinggung. Sepertinya, salah satu kondisi Santoso si Ahli Bicara ini kehabisan kata-kata adalah saat berhadapan dengan ibunya. "Habis ini aku ada penelitian dari kampus. Semoga Bapak nggak pulang. Kalau pulang, bilang saja ibu menemukan Wening di depan rumah, diduga korban dari pendemo."

Dikeluarkannya sejumlah uang dan dimasukan ke dalam saku baju Suri. "Ini uang buat Ibu, jangan sampai tau Bapak."

"Terima kasih, Nak." Suri berdiri, berusaha mencium pipi sang anak yang lebih tinggi darinya. "Kamu alasan Ibu masih bertahan sama Bapak."

Tanda SeruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang