7

176 27 4
                                    

Tidak Keruan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak Keruan

===

Kegugupan membuat gerakannya tidak keruan, tanpa sengaja ia menyenggol daun pintu dan menimbulkan suara. Santoso melirik Tarjo yang kentara sekali gemetar di tempatnya mendengar teriakan dan rintihan Soeryo. Ingin sekali Santoso menyuruh Tarjo lari tetapi lidahnya kelu. Dan tidak semestinya seorang Santoso yang pandai berbicara itu membisu. Belasan tahun disiksa oleh ayahnya, tapi baru kali ini ia melihat sesuatu yang lebih dari pukulan atau tamparan.

"Biar saya yang cek." Itu suara Johan, Santoso sangat mengenalinya. Kemudian derap langkah kaki mulai datang menuju ke arahnya dan Tarjo berdiri.

"Pergi, Jo," lirih Santoso tetapi Tarjo menggeleng. "Saya bakal atasi ini sendiri, kamu punya anak istri." Tarjo lagi-lagi menggeleng walau sudah ia bujuk dengan membawa kelemahan lelaki dewasa--ya, keluarga.

Johan sampai di tempatnya berdiri kaku bersama Tarjo sambil menopang senapan. Tampak Johan sudah lihai mengenakan senapan itu, seolah senapan tersebut sudah lebih lama berteman dengan Johan dibandingkan dirinya sendiri.

"Aman, nggak ada apa-apa," lapor Johan berbohong. Secara tidak langsung, ia sudah menyelamatkan nyawa Santoso dan Tarjo agar tidak ikut ke dalam pembunuhan ini. "Mungkin karena angin, saya bakal tutup pintunya." Johan mendekat, ia meraih knop pintu garasi, menurunkan senjata laras panjang di tangannya.

"Jangan sakiti Wening." Dari sekian banyaknya kata, hanya itu yang Santoso ucapkan ketika Johan tepat berada di depannya. "Jangan Wening," ulangnya lagi seakan sudah kehabisan kata. Ia bahkan sampai tidak menjelaskan apa alasannya.

Pintu ditutup perlahan, meredam suara jeritan Soeryo dari dalam. Tidak ada balasan dari Johan sepatah kata pun, hanya sorot mata dingin dan penuh tanda tanya. Santoso masih menggenggam erat knalpot yang rasanya sangat tidak sebanding dengan senjata api yang digenggam Johan.

"Kita pergi pelan-pelan," bimbing Santoso meraih pundak Tarjo yang lemas. "Jangan bersuara."

Kali ini Tarjo tidak menolak. Pria itu mengikuti Santoso dalam diam. Kengerian masih berlangsung di dalam rumah itu. Sekarang terdengar suara teriakan Wening yang memanggil nama ayahnya berulang kali, membuat Santoso menghentikan langkahnya.

"Mas," panggil Tarjo menyadarkan Santoso. "Ayo, Mas. Nanti kita ketahuan." Bergiliran Tarjo yang meraih pundak Santoso, menuntunnya berjalan maju. Keduanya saling merangkul, memberi dukungan satu sama lain.

Wening hanya gadis remaja yang manja. Tidak pernah satu pukulan melayang kepada gadis itu dari keluarganya. Hal ini pastilah membuat gadis itu lebih dari trauma.

Begitu berhasil keluar dari rumah Soeryo melewati halaman belakang, Santoso memberikan uang sebanyak 200 perak pada Tarjo. Uang yang tadi ia dapatkan dari hasil memeras dengan halus Pak Heru, dosennya. "Ambil uang ini. Kamu pergi bawa istri dan anak kamu tapi jangan ke kampung halaman kamu dulu. Saya takut pembunuh itu mengejar kamu karena kamu supir di sini. Bawa pergi anak istri kamu entah pakai alasan liburan atau apalah. Saya tau, uang segini nggak cukup buat liburan. Coba kamu cari alasan lain."

Tanda SeruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang