6

225 25 11
                                    

⚠️ Cerita ini fiksi, apabila terdapat kesamaan nama, alur dan tempat adalah KESENGAJAAN untuk sarkas kepada pemerintah. Tindakan tidak terpuji yang dilakukan aparat serta para pegawai pemerintah hanyalah mendukung alur cerita ⚠️ Cerita ini juga tidak mengandung unsur dewasa dan child grooming karena agegap, harap membaca cerita sampai tamat ⚠️

 Tindakan tidak terpuji yang dilakukan aparat serta para pegawai pemerintah hanyalah mendukung alur cerita ⚠️ Cerita ini juga tidak mengandung unsur dewasa dan child grooming karena agegap, harap membaca cerita sampai tamat ⚠️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Empat tahun lalu

===

Empat tahun lalu pukul enam pagi, Santoso berjalan bersama dengan keluhan pekerja kantoran, ibu-ibu yang menuju pasar dan juga para pelajar yang takut terlambat. Ia memakul sekotak kayu berisi sikat dan juga alat-alat semir lainnya. Bila beruntung, ia akan berangkat dengan kaki yang ringan. Tidak jarang ia terseret-seret menuju Senayan karena bekas luka di kaki akibat ulah ayahnya yang tidak waras.

"Penembak misterius, petrus." Kala itu salah satu langganannya meminta Faraz membuat sepatu mahalnya mengkilap untuk rapat siang nanti. "Singkatan yang pas, tapi... sangat tidak cocok bila disandingkan dengan ajaran Kristiani. Kamu tau petrus?" tanya pria itu kepada Faraz selagi membolak-balikkan koran yang memberikan sorotan khusus pada kasus penembak misterius ini.

"Tidak, Pak. Saya muslim," balas Santoso yang tengah mengelap penuh hati-hati ujung sepatu.

Pria itu tertawa pelan. "Saya juga muslim, tapi sedikit tau tentang agama tersebut. Petrus atau Santo Petrus adalah salah satu murid Yesus. Walau sifatnya tergesa-gesa dan terkadang bimbang, tetapi beliau adalah sosok pemimpin yang baik karena mengandalkan Allah pada langkah kepemimpinannya. Saya jadi berpikir, bahwa rasanya sungguh masuk akal pemimpin memiliki kekurangan."

"Ya." Jujur saya Santoso bingung harus bereaksi seperti apa. "Lebih baik Bapak membahas politik atau bahas ekonomi seperti biasanya, dibandingkan soal ini. Saya kurang paham dan sangat sungkan untuk membahas topik keagamaan karena saya tidak mendalami hal ini sama sekali."

Pria itu lagi-lagi tertawa. "Memang seseorang harus mendalami sesuatu kalau mau berpendapat? Omong kosong itu nggak perlu ilmu. Kamu tau pedagang ikan di dekat sini yang suka menghina ekonomi Indonesia? Dia saja tidak tau apa itu bedanya debit dan kredit tapi sok membahas utang negara. Padahal jika dia diam saja dan bekerja dengan benar, saya yakin pelanggannya tidak kabur karena kerap mendengar celotehannya. Saya jadi tau kenapa muncul istilah diam itu emas dan juga istilah lain seperti it ürür, kervan--"

"yürür," Santoso menyambung dengan tepat. "Artinya anjing menggonggong, kafilah berlalu. Bahasa Arab dari istilah tersebut. Saya tau karena keluarga ayah saya keturunan Timur Tengah. Kadang kami berbicara dengan bahasa Arab." Santoso sedikit bergeser, pegal dengan posisi pahanya yang menyangga kaki orang dewasa walau baru sepuluh menit. "Akan tetapi untuk urusan negara, seharusnya pemerintah pantang menerapkan istilah tersebut. Kenapa? Sama saja dengan pemerintah tutup telinga terhadap keluhan rakyat. Derita rakyat dianggap gonggongan anjing belaka."

Tanda SeruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang