⚠️ Cerita ini fiksi, apabila terdapat kesamaan nama, alur dan tempat adalah kesengajaan untuk sarkas kepada pemerintah. Tindakan tidak terpuji yang dilakukan aparat serta para pegawai pemerintah hanyalah mendukung alur cerita ⚠️ Cerita ini juga tidak mengandung unsur dewasa dan child grooming karena agegap, harap membaca cerita sampai tamat ⚠️
Luka dan lelaki seharusnya menjadi sahabat
===
Luka dan lelaki seharusnya menjadi sahabat. Ajaran yang diberikan oleh Abu Djaksa hampir setiap hari pada tiga putranya. Alasannya? Dirinya kesal saja karena kalah berjudi, atau bahkan tanpa alasan jelas. Ketiga anaknya tidak ada yang berjudi apalagi menegak tuak. Mereka semua bekerja menggantikan sang ayah yang tidak bertanggung jawab. Sang istri hanya menangis, mengais sisa-sisa belas kasihan dari suaminya. Bagi Suri, tidak ada yang lebih memilukan dibandingkan melihat buah hatinya disakiti meski oleh ayahnya sendiri.
Dari tiga anak bujangnya, hanya satu yang menurut, paling kuat. Jangankan menangis, Santoso tidak pernah mengerang kesakitan kala dua kakaknya memohon ampun dan mencoba melawan.
Suara reporter dari televisi yang membahas mengenai aksi demonstrasi masyarakat yang didominasi oleh mahasiswa itu tak didengar di dalam rumah ini. Bagaimana bisa mendengarkan, mereka sibuk menyelamatkan diri dari pecutan sang ayah. Saat urusan pribadi seseorang genting, urusan negara tentu diabaikan.
"Ibu." Suara Santoso mengisi kamar Suri yang lenggang. Biasanya setelah melampiaskan emosi, Djaksa pergi. Entah ke warung kopi atau bercengkrama di rumah teman perempuannya hingga pagi. "Ibu, tolong bersabar," ujarnya berlutut pada sang ibu yang terduduk di tepi kasur. "Kalau aku sudah lulus dari kampus dan mendapat pekerjaan layak, akan aku bawa Ibu pergi dari sini."
Suri tidak bisa menahan tangisnya. Ia memeluk sang bungsu dengan hati-hati. Baru saja Santo mendapatkan cambukan di punggung dari ayahnya. Tidak sampai hati Suri menyentuhnya.
Dalam diam dan berderai air mata, Santo tidak turut menangis. Ibunya terheran, apa yang sudah dilalui sang anak di luar sana sampai ia bisa sekuat ini.
"Ibu, aku pergi dulu. Ke kampus dan rumah Pak Soeryo," pamit Santo setelah tangisan ibunya mereda. "Aku tidak pulang dalam dua hari. Tapi jangan khawatir, justru Ibu lebih khawatir jika aku terus berada di rumah 'kan?" Jika kata-kata Santo barusan adalah sebuah lelucon sarkas, Suri tidak bisa menangkapnya sebagai sebuah lelucon.
"Hati-hati, Nak," pesan Suri. "Jaga diri."
Santo mengangguk lalu menutup dari luar perlahan pintu kamar. Ia bergegas kembali ke kamarnya, mengambil tas ransel yang sudah disiapkan. Mengambil sepotong singkong rebus di atas piring di ruang makan, Santo berlari kecil keluar rumah. Temannya sudah menunggu dengan motor yang dinyalakan, kentara sekali tidak sabar untuk segera pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanda Seru
ChickLit"Pergi dari Indonesia atau kau akan mati menderita." Itu seruan yang mengerikan, tetapi kenapa masih banyak yang bertahan di negeri ini? Santoso merelakan beasiswanya demi menjadi musuh pemerintah, membuat ia harus meninggalkan Indonesia. Hanya ada...