5

195 26 0
                                    

⚠️ Cerita ini fiksi, apabila terdapat kesamaan nama, alur dan tempat adalah KESENGAJAAN untuk sarkas kepada pemerintah. Tindakan tidak terpuji yang dilakukan aparat serta para pegawai pemerintah hanyalah mendukung alur cerita ⚠️ Cerita ini juga tidak mengandung unsur dewasa dan child grooming karena agegap, harap membaca cerita sampai tamat ⚠️

 Tindakan tidak terpuji yang dilakukan aparat serta para pegawai pemerintah hanyalah mendukung alur cerita ⚠️ Cerita ini juga tidak mengandung unsur dewasa dan child grooming karena agegap, harap membaca cerita sampai tamat ⚠️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Gemuruh yang Hebat

===

Itu gemuruh yang hebat. Bahkan suara petir sebelum tornado layak menjadikan suara-suara gemuruh ini sebagai saingannya. Mereka berteriak penuh semangat karena hanya dengan teriakan ini satu-satunya cara mereka bisa didengar. Berharap teriakan mereka bisa menembus hati nurani sang presiden Indonesia.

Santoso menaiki pohon rindang tertinggi. Walau di atas sini para pendemo tampak kecil dan wajah mereka tidak begitu terlihat, tetapi menemukan satu orang polisi di sini tidak akan sulit. Polisi mengenakan seragam, berbeda dengan para pendemo yang mengenakan banyak pakaian, mulai dari almamater, seragam sekolah dan juga pakaian bebas ternyaman mereka.

"Ketemu," batin Santoso puas, menemukan Wijaya sedang berada di tengah kerumunan. Ia hapal perawakan Wijaya yang lebih tinggi dari laki-laki Indonesia seusianya dengan kulit kuning langsat. Wijaya ditunjuk tajam, meski Santoso tidak mendengar, ia yakin Wijaya juga sedang dimaki di tengah kerumunan itu. Wijaya mencoba menenangkan kerumunan agar perang tidak meletus.

Santoso segera mendekat, berusaha mencari tau apa yang sedang terjadi di kerumunan itu. Bukannya tadi Wijaya diminta bawahannya untuk menengahi polisi yang sedang bersiteru? Kenapa ia sekarang berakhir di tengah para pendemo?

"Ada apa ini?" Santoso memaksa menarik salah satu tangan pendemo menjauhi kerumunan demi memberikan penjelasan padanya.

"Para polisi itu memukul salah seorang dari kami terlebih dahulu!" terang pemuda tersebut penuh amarah.

"Siapa korbannya?"

"Baju hijau!" Telunjuk pemuda itu mengarah pada seorang pemuda yang bersitegang dengan Wijaya. "Katanya dia dari universitas di dekat sini, universitas negeri seberang sana."

Nyaris sedikit lagi, mungkin perang akan meledak. Para pemuda sudah bersiap dengan alat mereka seadanya, entah batu yang ditemukan di jalan atau triplek-triplek lapuk. Bahkan tulisan "Turunkan Presiden!" yang tertera pada triplek tersebut jauh lebih tajam dibanding triplek itu sendiri. Sementara para polisi dengan gagah menodong senjata api beserta alat pukul. Akan tetapi, Santoso menyerobot barisan, menghadang Wijaya dan juga pemuda berbaju hijau yang dimaksud sebagai korban. Santoso menarik mundur pemuda berbaju hijau tersebut menjauhi Wijaya. Sangat jauh, hingga ke barisan pendemo paling depan.

Arkan, ketua BEM kampusnya yang berdiri dengan membawa pengeras suara itu ciut melihat kehadiran Santoso. Yang mulanya ia memandu para pendemo untuk bersorak, tiba-tiba menurunkan pengeras suara dari mulutnya. Siapa yang tidak takut dengan Santoso? Ia memiliki kedekatan tidak wajar dengan para dosen. Tentu mahasiswa lain tidak tau bahwa Santoso juga menjadi kacung para dosen demi penelitian mereka.

Tanda SeruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang