12

922 137 81
                                    

BAB ini mengandung adegan pelecehan secara implisit atau tidak detail

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

BAB ini mengandung adegan pelecehan secara implisit atau tidak detail. Harap kebijakan pembaca serta kebijakan pemerintah dalam menangani kasus kekerasan seksual.

===

Mulanya Santoso hendak melemparkan tasnya ke sembarang arah seusai membuka pintu kamar. Akan tetapi ia melihat Wening sedang berbaring di atas kasurnya mengenakan kemeja sobek dan celana luntur miliknya. Berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat, secepat itu Tuhan berkehendak. Dahulu, sedikit saja terdapat garis sobek di bajunya, Wening sudah meminta ibunya untuk membeli baju baru. Lihatlah putri berjari lentik yang kerap menari itu. Malam ini memakai pakaian yang tak pernah ia bayangkan menyentuh tubuhnya.

Wening menoleh, bereaksi pada kehadiran Santoso. "Om mau tidur di sini, ya?" tanyanya seraya bangkit duduk.

"Nggak. Kamu tidur di kamar saya. Saya tidur di ruang tamu." Santoso cepat-cepat mengambil buku berjudul Hukum Kerah Putih yang sudah setengah ia baca di atas nakasnya. "Kalau ada apa-apa, panggil saja."

Sebelum Santoso beranjak, Wening segera meraih lengan pemuda itu. "Apa aku boleh minta ditemani sebentar?" pintanya.

"Lebih baik kamu minta ditemani ibu saya, tapi jangan lama-lama. Ibu saya juga mau istirahat."

"Om sibuk? Aku cuma minta lima menit."

Santoso mengalah, meletakan kembali buku yang akan ia baca sebelum tidur itu ke atas nakas lantas duduk di tepi kasur. "Ya. Saya di sini. Tapi pintu kamar saya buka lebar."

Perlahan-lahan Wening kembali berbaring di atas kasur, menarik selimut tipis yang hanya Santoso pakai jika sedang tidak enak badan. "Aku bingung, kenapa aku nggak gila. Padahal semua keluarga aku dibunuh di depan mata aku," ucap gadis itu, mulai menuangkan keluh kesahnya beberapa hari ke belakang. "Hal yang terakhir aku ingat, ada laki-laki, dia berusaha membuka paksa baju aku...." Suara Wening mulai gemetar, seperti tak sanggup lagi melanjutkan. "Tapi sebelum baju aku dibuka semua, ada laki-laki lain yang nembak aku di dada. Badan aku dingin, aku lihat Bapak udah nggak ada, ibuku juga, terus... laki-laki yang nembak aku bilang sesuatu."

"Bilang apa?" tanya Santoso, tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Jelas yang menembak Wening adalah Johan. 

"Katanya dia muak lihat teman-temannya di sini memerkosa korban sebelum dibunuh. Jadi dia bunuh aku duluan. Itu kurang lebih yang aku denger sebelum pandangan aku gelap. Laki-laki yang awalnya buka paksa baju aku langsung marah-marah nggak jelas sambil bilang dia nggak nafsu sama mayat."

Johan tidak hanya menyelamatkan nyawa  Wening, tapi Johan juga menyelamatkan harga diri gadis itu. Tidak sampai hati Santoso untuk tidak mengakui Johan sebagai teman. "Saya bingung." Santoso mengusap wajah resah. "Saya mau menguatkan kamu, tapi saya juga tau, siapa yang kuat dengan cobaan seperti itu. Saya pengin kamu menangis supaya lega tapi saya nggak tega lihat kamu menangis."   

Tanda SeruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang