2

599 37 2
                                    

⚠️ Cerita ini fiksi, apabila terdapat kesamaan nama, alur dan tempat adalah kesengajaan untuk sarkas kepada pemerintah. Tindakan tidak terpuji yang dilakukan aparat serta para pegawai pemerintah hanyalah mendukung alur cerita ⚠️ Cerita ini juga tidak mengandung unsur dewasa dan child grooming karena agegap, harap membaca cerita sampai tamat ⚠️

 Tindakan tidak terpuji yang dilakukan aparat serta para pegawai pemerintah hanyalah mendukung alur cerita ⚠️ Cerita ini juga tidak mengandung unsur dewasa dan child grooming karena agegap, harap membaca cerita sampai tamat ⚠️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tak Ada Asap Bila Tak Ada Pemerintah

===

"Tak ada asap bila tak ada pemerintah," kelakar Santo sembari memberikan Wening perlindungan meski hanya menyerahkan kemejanya untuk membalut tubuh gadis itu.

"Oh, bagus, San! Kata-kata kamu bisa jadi puisi tapi saat ini, kalau kamu berpuisi di depan polisi, nggak bakal bisa buat mereka memberhentikan serangannya. Senjata dibalas kata," Bagus menyanggah. "Kita memang butuh orang yang pandai berbicara seperti kamu tapi itu seharusnya di hari pertama demo untuk menyemangati mahasiswa sampai akhir. Sekarang terlambat. Kita nggak butuh kata-kata lagi. Kita butuh aksi."

Ucapan temannya itu membuat Santo sedikit kesal. "Kata-kata bisa merubah hidup saya. Kamu jangan salah." Benar adanya dan Santoso mencoba membuktikan. "Saya bisa berkuliah di sini karena kata-kata yang saya tulis pada jurnal saya bagus, menarik perhatian banyak pendidik dan juga orang-orang kaya yang mau mensponsori saya. Hidup saya berubah hanya karena merangkai kata. Saya tidak lagi menyemir sepatu pejabat di tepi jalan."

Empat tahun lalu, Santo berusia dua puluh. Cukup telat untuk memulai bangku perkuliahan karena sudah dua tahun mencoba perutungan mendaftar beasiswa, nahas selalu gagal. Teman-teman sebayanya yang bisa berkuliah, sudah berada tengah jalan. Tapi baginya tidak ada kata telat untuk perubahan.

"Santo, lagi-lagi namamu tidak keluar sebagai penerima beasiswa, lebih baik kamu bekerja saja. Gantikan Bapak yang sudah dipecat pemerintah sialan itu," lugas Abu Djaksa. "Tidak ada gunanya jadi orang pintar di negeri ini. Percaya sama Bapak, orang pintar mana yang namanya diangkat dan diberi perlakuan khusus? Yang diberi perlakuan khusus itu orang-orang yang sudah sedari awal punya orangtua yang punya jabatan."

"Ada. Banyak. Salah satunya mantan presiden, Pak Habibie. Pintar dan dihargai pemerintah." Kemudian karena Abu Djaksa merasa kalah dari sang anak, ia memukul anaknya itu.

"Wening, kamu bisa pulang sendiri, 'kan? Saya antar kamu sampai bertemu Pak Tarjo." Permintaan Santoso dibalas gelengan dari Wening. "Ayo, Wening. Buat satu hari saja jangan jadi anak manja yang keinginannya harus terpenuhi."

"Aku bukan anak manja!" bentak Wening. Santoso menyesal mengatakan hal itu karena perjalanan mereka menuju lapangan parkir kampus tertunda. "Ini alasan aku selalu kesal dengan status aku jadi anak Pak Soeryo. Semua orang nganggep aku manja dan nggak bisa apa-apa. Kenapa aku harus jadi anak bungsu Bapak sih?"

Tanda SeruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang