9

624 94 10
                                    

Pukul Mundur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pukul Mundur

===

Pukul sebelas malam, gema para demonstran di luar sana masih mengudara. Spanduk-spanduk masih direntangkan dan api-api masih menyala di tengah gempita malam. Sesuai dengan prediksi Johan, Wening demam tinggi. Suhunya mencapai empat puluh derajat. Nyaris seumur hidup Santoso disiksa ayahnya tapi belum pernah ia demam hingga melebihi angka 36 derajat.

"Saya nggak bisa diam saja, Jo," ujar Santoso, bergegas membuka lemari Tarjo, membolak-balikan pakaian, mencari jas paling rapih. "Kamu masih akrab dengan Pak Dirham? Tetangga yang dahulu pernah kamu pinjam mobilnya?" tanyanya seraya mengambil jas hitam dan kemaja putih milik Tarjo yang paling bagus. Meski keduanya terpaut kurang lebih lima belas tahun, tetapi tinggi dan berat badan mereka tidak jauh berbeda.

"Masih, Mas. Ada yang bisa saya bantu lagi?" tawarnya sambil mengganti kompres Wening.

"Kita ke rumah sakit sekarang, persetan sama larangan Johan. Wening lebih butuh bantuan medis dibandingkan sembunyi dari pemerintah." Santoso mulai mengganti bajunya dengan tergesa-gesa. Ia pun berubah dari seorang mahasiswa bokek menjadi eksekutif muda seketika. "Saya bakal menyamar lagi jadi pengacara seperti saat menyelamatkan anak kamu. Saya bakal bilang kalau saya menemukan Wening di tengah jalan. Alibinya, Wening mungkin pendemo di sekitar sini yang pingsan."

Tarjo mengangguk paham. "Aman, Mas. Tunggu saya sebentar, sekitar lima belas menit untuk meminjam mobil Pak Dirham."

Tidak selang lama, Tarjo datang dengan mobil sedan abu-abu yang mengkilap. Santoso menggendong Wening dan keduanya duduk di kursi penumpang.  Santoso menatap ke luar mobil, tidak jarang mereka berpapasan dengan para pendemo yang masih berlarian dan para polisi yang mengejar. Ia semakin geram karena semua demo serta huru-hara ini hanya pengalih perhatian dari pembunuhan berencana yang serentak dilakukan pemerintah. Agar tidak seorang pun menaruh perhatian jika tetangga mereka hilang tiba-tiba.

"Saya nggak salah memberikan kamu beasiswa kuliah, bisnis saya di bidang mini market jadi maju setelah kamu kasih saya saran untuk membangun mini market dekat dengan pesaingnya. Orang-orang yang tinggal di jalan Mekar lebih memilih datang ke mini market saya dibandingkan mini market seberangnya karena mereka malas menempuh jarak 50 meter. Sederhana tapi tidak terpikirkan oleh saya." Pikirannya melayang dalam beberapa tahun lalu, ketika ia masih menjadi kacung Soeryo. "Nah, sebagai hadiah, saya kasih kamu ini. Namanya sabu. Ini bisnis saya juga tapi bukan bisnis terang-terangan. Bisnis gelap. Kamu pasti tau maksud saya."

"Terima kasih, Pak. Tapi saya besok ujian dan nggak mungkin pakai sabu. Bisa-bisa saya dikeluarkan dari kelas." Santoso menggeleng, beringsut menjauh dan menutup hidungnya dari asap mengepul yang dikeluarkan Seoryo. "Omong-omong saya nggak belajar hal itu di bidang politik dan hukum. Saya tau teori itu karena membaca buku bisnis dari kakak tingkat saya."

Tanda SeruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang