11

268 27 18
                                    

⚠️ Cerita ini fiksi, apabila terdapat kesamaan nama, alur dan tempat adalah KESENGAJAAN untuk sarkas kepada pemerintah⚠️ Cerita ini juga tidak mengandung unsur dewasa dan child grooming ⚠️

⚠️ Cerita ini fiksi, apabila terdapat kesamaan nama, alur dan tempat adalah KESENGAJAAN untuk sarkas kepada pemerintah⚠️ Cerita ini juga tidak mengandung unsur dewasa dan child grooming ⚠️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rakyat biasa memang tidak boleh bermain.

===

Rakyat biasa memang tidak boleh bermain. Akan tetapi, Santoso tidak mengira bahwa rakyat biasa sepertinya dipermainkan oleh negara. Dosen kampusnya, rektor, dokter rumah sakit ternama, para petinggi dan orang-orang penting lainnya seperti sudah menjadikan kasus pembunuhan keluarga Soeryo sebagai rahasia umum. Ia tidak akan tahu tragedi pembunuhan ini jika tidak kenal dengan para petinggi di sekitarnya. Bila saja salah satu dari mereka melihat putri bungsu Soeryo masih hidup, celakalah nasibnya. 

Santoso memilih mundur, meski sekarang pundak kurus Wening tengah dirangkul oleh seorang pemuda yang tidak dikenalnya, Santoso mencoba tidak peduli. Ia berusaha tak mendengar ujaran menggoda yang dilontarkan mahasiwa mengenai perawakan Wening yang tampak lemah. Sangat empuk dijadidikan sasaran oleh laki-laki yang gatal mencari hiburan di tengah penatnya tugas perkuliahan. 

"Woi!" sentak Dewi kasar, mendorong pemuda mana pun yang mencoba mengganggu Wening. "Perasaan lo semua bukan anak teknik yang jarang lihat cewek di jurusannya, kenapa kayak gembira banget nemu cewek? Di jurusan kita juga punya banyak cewek kok."

"Ya, tapi ceweknya modelan banyak omong sama sok kritis kayak lo, Wi. Kita juga males dengerin cewek banyak omong," celoteh salah seorang pemuda yang tadi merangkul Wening seenaknya. 

"Oh, cowok lemah. Memang lo pada sengaja nyari cewek yang pendiem biar nggak banyak protes kalau lo berbuat salah, 'kan?" Dewi pun kini merangkul Wening, agar tidak ada tangan laki-laki mana pun yang berani merangkul gadis kecil itu. Ia segera membelah lingkaran dan keluar dari sana. "Haduh, satu kata lucu. Laki-laki."

"Mulai lagi si Dewi, jiwa feminisnya keluar. Eh anak orang mau di bawah ke mana?"

Dewi tidak mendengarkan, ia mengangkat tinggi-tinggi jari tengahnya, merasa dirinya keren dengan melakukan hal seperti itu tapi justru membuat para pemuda semakin tidak menyukainya. "Lo anak fakultas mana? Bisa-bisanya nyasar ke kandang jurusan ilmu politik. Untung aja nggak salah masuk fakultas teknik. Bisa lebih habis di sana."

Wening menggeleng. "Aku bukan mahasiswa di sini. Aku ke sini biasanya buat belajar balet di... ruangan teater."

Dewi kerap melihat ruangan teater kampus mereka disewakan banyak sekolah dan juga organisasi untuk berlatih karena hanya di kampus ini yang memiliki teater paling bagus di kota. "Oh, kamu mau latihan balet? Biar Kakak antar ya ke ruangan teater. Kamu baru beberapa kali ya ke kampus ini jadi masih suka kesasar?" Gaya bahasa Wening berubah, menjadi lebih ramah dan mendayu bak sedang berbicara dengan anak kecil.

Tanda SeruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang