The Beginning

54 11 1
                                    

Hidupku hancur berantakan. Semua ini karena kemiskinan. Pikirku, aku takkan pernah mengeluh tentang hal ini. Sampai Metropolis menarik pajak dari rakyat miskin sebesar 70 persen.

Kemana uang itu akan pergi? Apa gunanya untuk rakyat miskin seperti aku? Haruskah aku terus menaati peraturan yang membuat orang kaya makin kaya dan membuat orang miskin makin miskin? Hal bodoh.

Kemarahanku kian hari kian besar. Puncaknya, ketika aku tak sanggup lagi membayar pajak. Pekerjaan semakin sulit didapatkan sebab semua orang mau bekerja dan semua orang terpaksa membayar pajak.

Malam ini adalah hari terakhir aku bekerja sebagai buruh cuci. Bos bodoh itu memecat semua karyawannya dan melakukan regenerasi besar-besaran. Alasannya? Kupikir untuk memberi pekerjaan pada orang yang mau membayar biaya masuk.

Di gang sempit ini, tanganku terus menerus memukul tembok. Meluapkan kemarahan dan kebencianku kepada Metropolis. Ini bukanlah hidup yang aku inginkan. Orang tuaku tak pernah bercerita mengenai Metropolis yang membuat diriku miskin. Kata-kata mereka terlalu indah untuk dipakai di masa ini.

Darah segar mengalir deras dari buku-buku tanganku. Aku tidak menghiraukannya dan memilih untuk segera pulang. Rasa benciku terhadap Metropolis lebih besar daripada rasa sakit di tangan kanan dan kiri.

"Sungguh. Aku takkan pernah membiarkan Petinggi Metropolis hidup tenang," kataku.

Butuh 30 menit untuk sampai di rumah. Sepanjang jalan, aku melihat perbedaan yang amat kentara. Rakyat kaya Metropolis menikmati hari mereka dengan makanan yang hangat dan rakyat miskin harus mengais sisa-sisa untuk makan. Ini hal gila, tapi lumrah di Metropolis.

Aku memilih untuk tidak melihat pemandangan tidak sedap itu atau aku bisa meledakkan kemarahanku di tengah jalan. Sampai mataku menangkap kerumunan orang dengan lampu sirine polisi yang berwarna merah dan biru. Penasaran dengan apa yang terjadi, aku memaksa untuk masuk ke tengah kerumunan.

Mulutku tanpa sadar menganga lebar, melihat tubuh pejabat Metropolis termutilasi. Tubuh pria paruh baya itu tidak lagi berbentuk. Dapat kulihat beberapa orang menutup mulut mereka, mungkin tidak percaya.

Selagi para polisi membereskan tubuh pejabat Metropolis yang termutilasi, aku memberanikan diri untuk bertanya pada polisi berambut pirang yang kelihatan menganggur. Aku ingin tahu, apa yang terjadi pada pejabat Metropolis itu.

"Permisi Pak, sebenarnya apa yang terjadi pada pejabat Metropolis itu?" tanyaku sesopan mungkin.

"Seseorang membagi tubuh pejabat Metropolis itu menjadi beberapa bagian ... kemungkinan persaingan politik yang membuat hal itu terjadi padanya," balas polisi yang ada di hadapanku.

"Persaingan politik?"

"Yaa ..., masih kemungkinan. Jangan khawatir warga sipil, kami akan berusaha untuk mengungkap motif pelaku dan segera menangkapnya," kata polisi pirang.

Percakapan itu berakhir ketika polisi itu dipanggil dan pergi menuju seseorang yang memanggilnya. Aku sempat mengucapkan terima kasih sebelum polisi pirang itu menghilang dari pandanganku.

Ada satu hal yang  membuatku masih bisa bersyukur tinggal di Metropolis. Polisi masih berpihak pada rakyat, tidak berpihak pada pemerintah yang mulai semena-mena. Aku pikir, rakyat miskin sangat membenci pemerintahan Metropolis.

Kematian seorang pejabat Metropolis membuatku bersemangat. Entahlah aku tak tahu, pejabat Metropolis semuanya busuk. Mungkin itu yang membuatku senang. Tunggu, senang?

***
Kali pertama nulis POV 1, semoga nggak bocor wkwkwkwk.
See ya ;⁠)

Postman Delivered Your Death Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang