Bau anyir darahku sendiri menyambut indra penciumanku. Tubuhku terasa remuk, segalanya terasa menyakitkan. Bayangkan saja, kau ditabrak mobil dengan kecepatan tinggi dan terpelanting sejauh 20 meter. Ditambah ciuman mesra dari aspal jalan yang basah, membuatku kesakitan.
Namun, aku tidak mau tertangkap polisi sekarang. Aku masih mau hidup bebas. Aku tak bersalah, tidak. Para pejabat Metropolis itu yang bersalah, karena telah menikmati uang hasil jerih payah rakyat. Seperti yang Sinestesia katakan, para pejabat itu menggunakan prinsip dari rakyat untuk pejabat.
Maka aku berdiri sekuat tenaga dan berlari dengan sedikit pincang. Rasanya ngilu saat memaksa badanmu yang hampir remuk untuk berlari kencang. Mungkin tulang-tulangku ini retak. Kuharap tidak patah.
"Berhenti!"
Aku tak tahu itu teriakan siapa, tapi aku menebak jika itu adalah polisi Metropolis. Aku tidak menjawab, melanjutkan lariku yang terseok-seok. Mataku merem melek saat seluruh tubuh yang aku gerakkan terasa ngilu. Sungguh, aku tak pernah membayangkan akan babak belur tanpa dipukul seperti ini.
"Berhenti! Atau terima konsekuensi yang berat!"
Kali ini suaranya terdengar lebih keras dan terasa dekat. Lagi-lagi keringat dingin mulai mengalir, bercampur dengan air hujan. Luka akibat tabrakan tubuhku dengan aspal terasa semakin perih, keringat dan air hujan menjadi kombinasi yang menyiksa tubuhku. Aku melajukan langkahku, berharap bisa lolos dari kejaran polisi.
Namun, aku tak memperkirakan hal gila yang bisa dilakukan pihak kepolisian. Aku baru sadar setelah kakiku ditembus peluru panas. Aku melotot, darah mengalir dengan cepat dari kakiku. Aku sudah pincang, dibuat makin pincang dengan kaki yang berlubang.
Jalanku menjadi lebih lambat, aku menangis, aku tak mau tertangkap. Kurasa aku akan gila. Aku tidak mau mendekam dipenjara dan dilihat seperti sampah oleh masyarakat. Tapi ... aku 'kan melakukan pembunuhan pejabat Metropolis untuk mendapatkan hak-hak rakyat yang memang seharusnya didapatkan oleh setiap rakyat. Apakah aku akan tetap dipandang seperti sampah?
Aku kembali fokus untuk berlari. Hingga tubuhku ditimpa tubuh berat seseorang. Ternyata, polisi Metropolis berhasil mengejar. Aku memberontak dibawah kunciannya, tapi semuanya sia-sia. Tanganku diborgol, aku tidak terima dengan ini.
"Lepaskan! Lepaskan aku! Kau harus tahu, Pak. Aku melakukan semua pembunuhan selama ini untuk membela rakyat miskin! Untuk mendapatkan hak-hak mereka! Membebaskan mereka dari belenggu pajak yang nilainya sangat tinggi! Apa kau buat, Pak? Kau tak melihat betapa bejatnya para pejabat Metropolis, bahkan pemerintahannya?" ujarku dengan suara tinggi.
"Anda punya hak untuk tetap diam hingga hakim memutuskan hukuman Anda, Pak!" balas polisi yang memegang tanganku sembari tangan satunya mendorong-dorong tubuhku agar berjalan dengan cepat.
"Dasar! Sialan! Oke-oke, stop mendorongku aku akan berjalan sendiri!"
Aku berbalik saat polisi ini setuju. Mata kami bertemu, kini aku bisa melihat wajah garangnya yang membuatku sedikit terintimidasi. Aku berusaha untuk menarik perhatiannya dengan segalanya ocehan dan ekspresi wajahku, sementara tanganku yang terborgol sibuk merogoh saku untuk mengambil pisau minimarket.
Bak tentara terlatih, aku berhasil. Pisau yang tajam itu berhasil kupegang walau dengan kondisi terborgol. Dengan cekatan, aku menggores tangan polisi itu hingga berdarah, tidak sampai putus tentunya. Aku tak sekuat itu.
Begitu polisi itu kesakitan, aku berlari sekencang mungkin dan melemparkan pisau ke sembarang arah. Memaksa kakiku yang pincang dan mengeluarkan darah, berlari dengan tujuan bersembunyi. Agar tak tertangkap dan berakhir hidup dalam kegelapan.
Sembari terus berlari aku memikirkan lagi, tentang apa yang aku lakukan. Tujuanku sudah jelas, membalas dendam kepada para pejabat Metropolis karena memaksaku bekerja keras tanpa bisa menikmati hasil jerih payahku dan membela serta menuntut hak-hak rakyat miskin yang direnggut oleh para pejabat bajingan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Postman Delivered Your Death
De TodoPara pejabat Metropolis terbunuh secara misterius setelah pajak di Metropolis naik sebesar 70 persen. Pembunuhan berantai itu membuat seluruh Metropolis gempar. Rakyat kaya mulai khawatir, sementara rakyat miskin cukup lega dengan kematian para peja...