12. Pinggiran Metropolis

8 1 0
                                    

Sebelum Arya menjawab pertanyaanku. Mulutnya mengeluarkan darah pekat yang mana itu mengotori kaos putihnya. Aku terkejut melihat itu. Sepertinya dugaanku salah, Arya orang yang takut dengan darah dan mayat. Laki-laki ini tidak mungkin menjadi pelaku pembunuhan Alif Raharja dan Haris Al Farizi.

Peka dengan keadaan Arya, aku mengambil tisu yang ada di dashboard truk dan memberikannya pada Arya. Laki-laki ini membersihkan darah yang mungkin bisa masuk ke botol satu liter. Kulihat, wajahnya semakin pucat.

"Oke ..., kita ke rumah sakit," kataku.

Arya tidak menjawab, dia pasrah dengan keadaannya yang berantakan. Napasnya tersengal-sengal, ini hanya perasaanku atau dadanya membesar? Sungguh aku takut terjadi komplikasi atau hal gila semacam itu kepada Arya.

Truk ZNE ini aku lajukan dengan cepat menuju rumah sakit terdekat yang bisa aku jangkau secepat mungkin. 15 menit lamanya kami dijalan, hingga akhirnya tiba di rumah sakit. Ku serahkan segala urusan medis pada para perawat dan dokter yang ada, sebab aku ingin berpikir dengan jernih.

Aku melihat Arya dibawa ke salah satu ruangan, laki-laki itu terlihat semakin parah keadaannya. Hal itu membuatku khawatir, sehingga aku memutuskan untuk menunggu di depan ruangannya. Aku duduk di bangku yang ada di pinggir lorong rumah sakit, mencoba menetralkan napas.

Oke, mungkin bukan hanya aku yang memiliki dendam hingga nekat menghabisi pada para pejabat Metropolis. Mungkinkah, orang ini baru berani bergerak setelah melihat kasusku? Tapi kupikir ini bukan rakyat biasa, rakyat biasa tak akan berani melakukan hal sekejam ini. Siapa orang ini?

Lorong rumah sakit senja itu cukup sepi. Suara yang masuk ke telingaku hanya alat-alat medis dan alat administrasi yang ada di lobi. Kurasa sudah 10 menit aku duduk di bangku lorong ini dan Arya masih belum ku ketahui kabarnya.

Dering dari ponsel kantor, mengambil alih atensiku. Ponsel dengan warna merah khas ZNE beserta logo ZNE, menampilkan panggilan dari Admin ZNE. Saat aku melihat jam, aku tak heran. Senja telah berubah menjadi malam, dan di jam ini semua pekerja ZNE harus sudah kembali ke kantor.

"Halo," sapaku.

"Bisa kembali ke kantor sekarang? Saya butuh laporan dari truk team 57."

"Oke, tapi bisakah menunggu? Rekanku Arya saat ini berada di rumah sakit dan aku belum tahu kabarnya," kataku.

"..., akan saya konfirmasikan kepada pimpinan. Kembalilah secepatnya."

Panggilan itu diakhiri sepihak. Aku memasukkan ponsel merah itu ke kantong jaket. Topi merah yang sedari hinggap di kepala aku lepas, rasanya lega. Hanya saja kelegaan itu hilang saat dokter keluar dari ruangan dimana Arya berada.

"Bagaimana keadaan temanku, Dokter?" tanyaku.

"Pasien baik-baik saja. Keadaannya sudah lebih stabil. Tapi saya sarankan, pasien menginap di rumah sakit untuk pemantauan lebih lanjut," kata dokter dihadapanku.

"Baiklah, terima kasih, Dok."

Aku bernapas lega, sebelum meninggalkan Arya di rumah sakit. Aku menyempatkan untuk masuk ke dalam ruangan dan melihat keadaan dari rekan satu shift dan satu team itu. Begitu masuk, aroma obat-obatan tercium dengan jelas. Aroma itu bercampur dengan pengharum ruangan yang wanginya sangat tidak cocok dengan vibes rumah sakit.

Kulihat, Arya berbaring diatas brankar dengan tangan ditusuk selang, yang aku tak tahu apa nama dan kegunaannya. Sebenarnya aku cukup terkejut melihat ruangan yang Arya tempati. Single room? Atau ini hanya tempat sementara sebelum Arya dipindah ke ruang biasa?

Aku tak mau memikirkan hal itu dengan keras. Sebelum aku dipotong gaji, aku keluar dari sana dan tancap gas menuju kantor ZNE. Tentunya aku berpamitan dengan perawat yang kebetulan ada di dekat ruangan Arya, agar aku tak dianggap teman durhaka yang menelantarkan temannya.

Postman Delivered Your Death Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang